Praktik permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih terus menjadi perdebatan di Indonesia. Hal ini lantaran adanya perbedaan putusan antara BUMN yang satu dengan BUMN yang lain.
Beberapa putusan majelis hakim yang menolak permohonan pailit/PKPU BUMN didasari dengan pertimbangan Pasal 223 Undang-undang No.37 Tahun 2004 Kepailitan dan PKPU. Pasal tersebut menyebut bahwa BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), yakni Menteri Keuangan.
Jika merujuk penjelasan Pasal 2 ayat (5), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik” adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.
Baca Juga:
- Sebut Pengembang Tak Bisa Dipailit/PKPU, SEMA 3/2023 Dinilai Tak Sejalan UU Kepailitan
- Advokat Ini Usul Permohonan PKPU Hanya Boleh Diajukan Debitor
- Menyoal Hanya Advokat yang Boleh Ajukan Perkara Kepailitan-PKPU
Menurut Guru Besar Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair), M. Hadi Subhan, permohonan pailit/PKPU terhadap BUMN merupakan sesuatu yang unik, baik dari sisi norma maupun praktik di pengadilan.
Pasal 2 ayat (5) jelas menyebutkan bahwa BUMN yang bergerak pada kepentingan publik hanya bisa dimohonkan oleh Menteri Keuangan, namun dalam penjelasan terdapat kontradiksi di mana diatur pengecualian yakni pasal 2 ayat (5) hanya berlaku untuk BUMN yang modalnya tidak terbagi dalam saham.
Namun, Hadi Subhan mengingatkan bahwa penjelasan pasal tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum dan tidak boleh menimbulkan norma baru. Sehingga dalam pertimbangan putusan, suatu hal yang wajar jika dikembalikan ke batang tubuh.