Perlu Penguatan Penerapan Restorative Justice dalam Sebuah UU
Terbaru

Perlu Penguatan Penerapan Restorative Justice dalam Sebuah UU

Kendati tidak diatur tegas pengaturan keadilan restoratif dalam UU, penuntut umum masih memiliki kendali dalam penghentian penuntutan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Project Manager/Lead Researcher Thailand Institute of Justice (TIJ) Ukrit Sornprohm dan Chair of the European Forum for Restorative Justice Tim Chapman. Foto: RFQ
Project Manager/Lead Researcher Thailand Institute of Justice (TIJ) Ukrit Sornprohm dan Chair of the European Forum for Restorative Justice Tim Chapman. Foto: RFQ

Perubahan cara pandang dalam penerapan hukum pidana bergeser dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Kejaksaan sebagai pengendali perkara menjadi pihak yang memiliki kewenangan menilai melanjutkan atau tidaknya sebuah perkara ke persidangan. Tapi, mandat penerapan restorative justice semestinya dituangkan dalam aturan setingkat UU.

Demikian disampaikan Chair of the European Forum for Restorative Justice, Tim Chapman dalam 31stCommission on Crime Prevention and Criminal Justice (CCPCJ) event bertajuk Promoting Restorative Justice: Strengthening The Rule of Law Through Restorative Justice Approach for Victim and Offenders” secara virtual, Rabu (18/5/2022). “Ini harus dimandatkan pada UU dan dirujuk para jaksa, hakim, dan polisi,” ujarnya.

Menurutnya, pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana menghindari kesalahan bagi pelaku di masa mendatang. Di banyak negara, praktik pendekatan keadilan restoratif yang amat tinggi diterapkan, khususnya di berbagai tahapan peradilan pidana. Namun begitu, para penegak hukum sebagai pihak yang melaksanakan keadilan restoratif perlu meningkatkan kualitasnya melalui berbagai pelatihan.

“Penerapannya pun perlu dipantau secara berkala. Yang pasti, tetap mengedepankan pemulihan bagi korban,” kata Tim Chapman.

Baca Juga:

Menurutnya, ada dua syarat dalam penerapan keadilan restoratif. Pertama, adanya keinginan dari pihak korban untuk mengikuti tahapan keadilan restoratif. Kedua, pelaku mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Setelah kedua syarat terpenuhi, maka terdapat pengawas yang mengawasi penerapan keadilan restoratif.

Project Manager/Lead Researcher Thailand Institute of Justice (TIJ), Ukrit Sornprohm berpandangan restorative justice menjadi keadilan yang humanis dan harmonis. Sebab, keadilan restoratif tak sekedar membantu mengenalkan proses yang inklusif, tapi memitigasi masalah-masalah lainnya sejak disahkannya prinsip-prinsip PBB dalam penggunaan keadilan restoratif.

Karenanya di Thailand, kata Ukrit, menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam pencegahan terjadinya tindak pidana yang berulang. Menurutnya, keadilan restoratif dipraktikkan dalam merajut para pihak berkonflik. Makanya, praktik penerapan restorative justice memiliki akar yang kuat dengan memasukkan unsur keagamaan dan kebudayaan dalam mencapai resolusi.

“Saat ini kami punya banyak bentuk restorative justice formal dan informal. Sehingga dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana dengan mengalihkan penghukuman kepada mediasi,” ujarnya.

Di Thailand, terdapat berbagai hukum terkait restorative. Namun ada sisi kelemahannya yang perlu diperjelas perannya. Karenanya, kata Ukrit, restorative justice harus difasilitasi oleh pihak-pihak berwenang. Termasuk diatur dalam UU yang memungkinkan petugas-petugas mengedepankan menawarkan upaya mediasi, khususnya tindak pidana ringan.

Ukrit berpendapat ada sejumlah tantangan dalam penerapan restorative justice. Seperti, tak hanya kedua belah pihak berperkara dipandu agar terjadi kesepakatan damai, namun mesti diurai penyelesaian akar masalah. Dengan begitu memunculkan solusi yang berkelanjutan. Antara lain dengan memasukan nilai-nilai agama dalam keadilan restorative justice. “Mereka percaya hal ini berdampak positif dalam mencapai kesepakatan,” ujarnya.

Tantangan lainnya, adanya keterbatasan kerangka hukum. Seperti kurangnya kesadaran masyarakat terkait dengan keadilan restoratif. Selain itu, perlu membangun keterampilan teknis, serta sarana prasarana termasuk perangkat hukum dalam penerapan keadilan restoratif. “Juga perlu mengenalkan restorative justice,” imbuhnya.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana mengatakan beberapa tahun belakangan Kejaksaan didesak masyarakat agar tidak melanjutkan tindak pidana ringan yang semestinya tidak dilakukan penuntutan. Tak hanya biaya yang besar, tapi jaksa diminta fokus pada pemulihan korban ketimbang menghukum masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Alhasil, Jaksa menggunakan diskresinya untuk tidak menuntut selama hak korban dapat dipulihkan. Prinsip Kejaksaan, kata Fadil, tidak melulu menuntut tindak pidana. Sebab, UU di Indonesia tidak mengenal menuntut adalah kewajiban. Sebaliknya, sistem hukum di Indonesia menganut kejahatan haruslah dituntut sepanjang ada kemanfaatan bagi kepentingan hukum dan umum.

“Dengan kata lain penuntut umum tidak hanya berwenang menuntut, tapi juga berwenang tidak melanjutkan perkara ke persidangan,” katanya.

Kriteria

Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalimatan Timur itu melanjtkan, ada beberapa kriteria penerapan keadilan restoratif terhadap sebuah perkara. Pertama, tindak pidana kali pertama dilakukan pelaku. Kemudian nilai kerugiannya pun tidak terlampau besar. Selanjutnya, tersangka merupakan tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Karenanya keluarga pun ikut menderita akibat perbuatan tersangka yang berujung pemenjaraan.

Di lain sisi, pelaku kejahatan tidak mendapat dukungan kendatipun kasusnya telah berakhir. Makanya diperlukan paradigma baru dengan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu diskresi jaksa dengan penyelesaikan penghentian penuntutan melalui restorative justice terhadap tindak pidana ringan.

Makanya diperlukan paradigma baru dengan pendekatan keadilan restoratif. Salah satu diskresi dengan penyelesaian penghentian penuntutan dengan keadilan restoratif dengan sifatnya ringan. Menurutnya, restorative justice tidak diatur secara tegas dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun penuntut umum masih memiliki kendali dalam penghentian penuntutan.

“Penuntut umum akan menentukan apakah satu perkara memenuhi syarat pendekatan restorative justice atau tidak. Penuntut umum bakal menawarkan pendamaian para pihak berperkara,” ujarnya.

Pasca berlakunya Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, banyak kasus tindak pidana ringan yang dihentikan penuntutan. Setidaknya hingga Mei 2020, Kejaksaan telah menghentikan 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Baginya, keadilan restoratif memaafkan pelaku dan sistem peradilan pidana mesti mampu mengakomodirnya. Karenanya keadilan restoratif secara filosofi mengedepankan pemulihan dan dialog dengan memafkan dan melakukan perbaikan. Sekalipun terdapat kekurangan dalam mekanisme aturan di Indonesia, penyelesaian dengan keadilan restoratif membawa perdamaian.

Kedua, kondisi lembaga pemasyarakatan padat. Menurutnya masyarakat menuntut praktik pemenjaraan dari pemulihan. Padahal sebaliknya, penerapan keadilan restoratif malah mengurangi jumlah narapidana di Lapas Indonesia. Ketiga, dalam meningkatkan penerapan restorative justice kearifan lokal diboyong masuk dalam penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.

“Harapannya restorative justice dapat membantu pemeritah mengurangi narapidana dan residivis,” katanya.

Tags:

Berita Terkait