Perlu Pengaturan Komprehensif untuk Atasi Masalah Penanganan Pengungsi
Utama

Perlu Pengaturan Komprehensif untuk Atasi Masalah Penanganan Pengungsi

Selama ini penanganan pengungsi di Indonesia mengalami masalah yang kompleks. Untuk itu, Payung hukum yang ada harus dapat menentukan posisi/peran pemerintah, UNHCR, IOM, masyarakat sipil, dan pihak lain guna menciptakan kepastian hukum.

CR-28
Bacaan 4 Menit
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof Tri Nuke Pudjiastuti dalam diskusi Hukumonline bertajuk 'Academic Roundtable Discussion: Refugee Protection, Policy, and Solution in Indonesia'. Senin (31/1/2022). Foto: CR-28
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof Tri Nuke Pudjiastuti dalam diskusi Hukumonline bertajuk 'Academic Roundtable Discussion: Refugee Protection, Policy, and Solution in Indonesia'. Senin (31/1/2022). Foto: CR-28

Keberadaan pengungsi bukan fenomena baru. Melihat sejarah, sejak masa Perang Dunia I (1914-1918), keberadaan pengungsi mulai menjadi masalah yang lumrah. Dukungan pertama bagi pengungsi yang menjadi korban peperangan diketahui berasal dari International Red Cross (IRC). Indonesia sendiri telah memberi perhatian dalam kerangka humanitarian dan mematuhi non-refoulement yang menjadi pegangan di Indonesia.

“Permasalahannya situasi pengungsi yang berlarut-larut (protracted refugee situation) di Indonesia sebagai negara transit. Meski penggunaan kata transit itu seringkali menyesatkan karena orang bilang transit (di Indonesia, red) ya 1, 2, 3 bulan maksimal. Tapi kenyataannya bisa sampai 7 hingga 8 tahun,” ujar Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Prof Tri Nuke Pudjiastuti dalam diskusi Hukumonline bertajuk “Academic Roundtable Discussion: Refugee Protection, Policy, and Solution in Indonesia”, Senin (31/1/2022).

Dia menerangkan mobilitas pengungsi masuk dalam kerentanan perdagangan dan penyelundupan orang dan telah mengalami multiple victimization. Sejak tahun 1958, Indonesia sudah mengakui hukum humaniter yang menjadi dasar utama peraturan-peraturan terkait pengungsi. Pada tahun 1978 terdapat gelombang boat people dari Indocina (sebagian besar dari Vietnam) yang memperoleh dukungan 15 negara.

“Memasuki 1979, Indonesia dengan UNHCR menyepakati MoU penanganan pengungsi Vietnam di pulau Galang. Praktik penanganan pengungsi baik pemerintah maupun lembaga internasional memiliki pola masing-masing,” kata dia.  

(Baca Juga: Dekan FH Unpar Ingatkan Dua Prinsip Ini Terkait Penanganan Pengungsi Internasional)

Kemudian pada tahun 1999, kata dia, pemerintah menerbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dan hubungan resmi dengan International Organization for Migration (IOM) dan Indonesia berstatus observer di IOM dan memperoleh keanggotaannya pada 2020 lalu. Berlanjut di 2013, Penanganan Penyelundupan Manusia, Pengungsi dan Pencari Suaka (P2MP2S) pada Kemenkopolhukam yang menjadi desk penanganan pengungsi luar negeri.

Selanjutnya pada 2016, pemerintah menerbitkan Perpres No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri. Dan di tahun 2018, SE Dirjen Imigrasi tentang Pendekatan non-Detensi juga diterbitkan. “Ini hanya beberapa poin penting, tapi dari perjalanan panjang ini ternyata tidak sesederhana itu karena itu mempengaruhi cara pandang negara,” kata dia.

Namun, Nuke menilai Perpres 125/2016 menjadi tidak mencukupi lagi memenuhi kebutuhan para pengungsi yang ada. Sebab, posisi dan situasi pengungsi yang berlarut-larut dengan problematika yang sangat kompleks harus dipahami dan diuraikan secara lebih lanjut dan menjadi masukan kepada pemerintah.

Selama ini pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya dalam tingkat multilateral dan regional. Salah satunya dapat dilihat pada Bali Process Forum. Indonesia bersama Australia menjadi Co-Chair pada Bali Process pada tahun 2002, yang merupakan forum konsultasi 48 negara Asia Pasifik (asal, transit, dan tujuan) beserta 3 lembaga internasional.

Disamping itu pada tingkat regional yakni ASEAN, Indonesia banyak memberikan inisiatifnya pada dokumen-dokumen ASEAN untuk menegakkan dan menghormati HAM, termasuk pada hak-hak dasar anak yang termasuk pula dalam konteks migrasi. Melihat kerangka regional dan multilateral itu, standing position pemerintah Indonesia itu sangat jelas.

“Tetapi ketika masuk ke dalam, ini yang menjadi masalah besar karena prakteknya. Saya sangat menghargai upaya dari semua pihak, termasuk UNHCR, yang luar biasa sekali hingga memikirkan konsep-konsep alternative pathways-nya. Itu luar biasa. Tetapi ketika masuk pada kerangka di Indonesia, itu tidak mudah.”

Mantan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) itu menjelaskan tantangan dalam penanganan pengungsi yang muncul disebabkan beberapa hal. Diantaranya pengaturan kewenangan antara pemerintah pusat, daerah, serta lembaga internasional dinilai masih belum cukup jelas dan masih didominasi pusat. Kemudian, pengaturan peran dan mekanisme kerja, organisasi masyarakat sipil, masyarakat dan lembaga internasional serta donatur masih tergantung masing-masing dan belum ada pengaturannya secara rigid.

Hukumonline.com

Selain itu, pengelolaan/penanganan pengungsi dalam beberapa hal tumpang tindih menjadikan kurang tepat sasaran. "Atau ketika pada proses penempatan, pemerintah memiliki aturan main di dalam proses penempatan. Lembaga Internasional juga memiliki aturan. Masyarakat sipil juga punya aturan. Apa yang terjadi? Suka terjadi crash,” beber anggota Dewan Sekretariat Asian Dialogue on Forced Migration (ADFM) itu.

Dengan begitu, menurutnya upaya pemenuhan perlindungan dan hak dasar pengungsi dirasakan menjadi terhambat dengan peraturan sektoral yang cenderung bertentangan. Terlebih dalam Perpres 125/2016 tidak ditemukan pengaturan yang sifatnya sektoral. Karena belum terlalu jelas, pendekatan pengamanan wilayah teritori lebih menonjol ketika para pengungsi masuk ke wilayah teritori Indonesia.

"Tiga hari yang lalu saya mengikuti kegiatan teman-teman di Suaka, disitu terlihat sekali bagaimana hukum adat punya kelebihan yang luar biasa yang tidak diperhitungkan. Maka masyarakat adat harusnya menjadi bagian yang diperhatikan,” harapnya. “Mengingat, beberapa tempat relasi sosial pengungsi dengan masyarakat lokal di beberapa wilayah cenderung buruk. Tetapi ketika difasilitasi organisasi masyarakat sipil atau organisasi internasional, relasi itu terbangun secara baik.”

Hal itu menunjukkan beragam persoalan penanganan pengungsi, tidak bisa tanggung jawabnya diserahkan hanya kepada UNHCR. Indonesia yang kerap dijadikan negara transit pengungsi hingga sampai belasan tahun, seharusnya bisa memberi pengaturan penanganan pengungsi secara komprehensif. Menurutnya, payung hukum yang ada harus dapat menentukan posisi/peran pemerintah, UNHCR, IOM, masyarakat sipil, dan pihak lain guna menciptakan kepastian hukum.

Tags:

Berita Terkait