Perlu Memperjelas Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Utama

Perlu Memperjelas Aturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Fenomena pernikahan beda agama bakal terus muncul. Selain adanya dualisme aturan terkait keabsahan pernikahan, juga terdapat celah hukum yang sering dimanfaatkan pemohon nikah beda agama.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Polemik seputar pernikahan beda agama lagi-lagi menyita perhatian publik terutama pasca Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengesahkan pernikahan beda agama. Fenomena pernikahan beda agama terus muncul akibat dilegitimasi negara terutama oleh lembaga peradilan. Putusan pengadilan menjadi preseden munculnya putusan pengadilan serupa bagi pemohon pernikahan beda agama. Untuk itu, perlu memperjelas berbagai aturan terkait penikahan beda agama di Indonesia.

“Adanya dualisme terkait keabsahan perkawinan beda agama yang harus segera diakhiri,” ujar Dekan Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Ahmad Tholabi Kharlie kepada Hukumonline, Jumat (24/6/2022).

Dia menilai rumusan norma Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur sahnya suatu perkawinan dilakukan berdasarkan tata cara agama dan kepercayaan yang dianut pasangan suami istri. Karena itu, dalam hal pengajuan pernikahan tak mungkin dilakukan para pemohon yang memiliki perbedaan agama.

Baca Juga: 

Namun, Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 amat subjektif yang membuka peluang ditafsirkan secara beragam. Dalam tataran implementasi, norma tersebut sangat mudah “disiasati” agar dapat dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi negara tanpa perlu meninggalkan agama atau kepercayaan asalnya.

“Saya kira dalam konteks hukum perkawinan, negara harus tetap hadir melindungi keyakinan warga negaranya, memenuhi hak-hak dasarnya, serta memberikan legitimasi terhadap semua peristiwa hukum yang dilakukan warga negaranya,” kata dia.

Ahmad Tholabi melihat putusan PN Surabaya mengacu pada Pasal 35 dan 36 UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dalam menetapkan keabsahan perkawinan beda agama. Pasal 35 menyebutkan, “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan b. perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan”. Sedangkan Pasal 36 menyebutkan, “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”.

Menurutnya, polemik pernikahan beda agama bakal terus muncul. Sebenarnya, sudah banyak pernikahan beda agama yang mendapat legitimasi intansi terkait karena tak terekspose ke publik. Fakta tersebut menunjukan adanya persoalan krusial dari sisi norma hukum yang mengatur perkawinan beda agama di Indonesia.

Guru Besar Ilmu Hukum Islam itu merujuk jumhur ulama yang bersepakat perkawinan beda keyakinan tidak dibenarkan. Makanya, hal itu diakomodir melalui Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yang menegaskan keabsahan suatu perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Demikian pula, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menegaskan ketidakbolehan perkawinan yang dilarang agamanya.

Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se-Indonesia itu melanjutkan aturan itu bisa menjadi celah hukum yang dimanfaatkan pelaku nikah beda agama. Seperti menundukan diri pada agama salah satu pasangan, menikah di luar negeri agar menghindari kerumitan aturan di Indonesia.

Dia berpandangan benturan antara keyakinan keagamaan dengan pemenuhan atas hak-hak dasar manusia, serta kepentingan data kependudukan akan terus terjadi dan saling menafikan. Menurutnya, fakta penikahan beda agama mendapat legitimasi dari catatan sipil atau pengadilan menunjukkan adanya keragaman tafsir dan kecenderungan pihak-pihak terkait dalam menafsirkan norma hukum nikah beda agama. “Inilah muara dari persoalan itu,” katanya.

Sebelumnya, Juru Bicara PN Surabaya Gede Agung menerangkan dalam putusan PN Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kota Surabaya. Dalam putusan persidangan hakim tunggal Imam Supriyadi pada 26 April 2022 diajukan para pemohon perorangan yang telah menikah beda agama dan berkedudukan di Kota Surabaya, berinisial RA dan EDS.

Menurutnya, RA dan EDS telah melangsungkan pernikahan berdasarkan keyakinan agama masing-masing, secara Islam dan Kristen. Namun saat keduanya hendak mencatatkan pernikahannya di Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya ditolak dengan alasan perbedaan keyakinan pasangan tersebut. Selanjutnya, pejabat dinas Dukcapil Surabaya dianjurkan agar mengajukan permohonan penetapan pengadilan tempat kedudukan hukum para pemohon.

“Dengan latar belakang itulah keduanya kemudian mengajukan permohonan di PN Surabaya,” ujar Gede Agung sebagaimana dikutip dari Antara.

Kemudian, Hakim Tunggal Imam Supriyadi yang meneliti perkara ini merujuk pada Pasal 21 ayat (3) UU 1/1974 jo Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam putusan yang diterbitkan pada 26 April 2022, Hakim mengabulkan permohonan para pemohon dengan penetapan perkawinan beda agama dengan mengizinkan para pemohon melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya.

Pasal 21 ayat (3) UU Perkawinan menyebutkan Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas”

Kemudian, Hakim memerintahkan kepada pejabat Kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya agar melakukan pencatatan perkawinan beda agama para pemohon ke dalam register pencatatan perkawinan serta menerbitkan akta perkawinan tersebut. Menurut Gede Agung, Hakim Imam Supriyadi tidak melihat adanya larangan perkawinan beda agama menurut UU 1/1974.

“Selain itu, pembentukan rumah tangga dengan mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing merupakan hak asasi para pemohon,” katanya.

Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menyidangkan pengujian Pasal 2 ayat (1), (2) dan Pasal 8 huruf f UU No.1 Tahun 1974 terkait syarat sahnya perkawinan dan larangan menikah oleh agamanya. Permohonan ini diajukan E. Ramos Petege, yang memeluk agama Khatolik pernah hendak menikah dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam. Tetapi, setelah menjalin hubungan selama 4 tahun dan hendak menikah, perkawinan tersebut harus dibatalkan karena kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Persidangan permohonan ini sudah memasuki sidang pleno dan telah mendengarkan keterangan pihak DPR, pemerintah, hingga pihak terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal, MK sendiri sudah mengambil sikap tegas terkait polemik kawin beda agama ini melalui Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 silam.

MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama yang dimohonkan seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI. Kala itu, para pemohon mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan mengenai syarat sahnya perkawinan, terutama berkaitan dengan keabsahan kawin beda agama. Norma pasal itu dinilai pemohon berimplikasi tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur “pemaksaan” warga negara mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.

Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses penyelundupan hukum. Alhasil, pasangan kawin beda agama kerap menyiasati berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat. Karenanya, para pemohon meminta MK membuat tafsir yang mengarah pada pengakuan negara terhadap kawin beda agama. Namun, MK menganggap Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. 

Mahkamah menganggap UU Perkawinan ini telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 serta dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Terlebih, Pasal 28J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang yang salah satunya dengan pertimbangan nilai-nilai agama.

“Karena itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.  

Tags:

Berita Terkait