Perlu Membedakan Tanggung Jawab Korporasi dan Pengurus dalam RKUHP
Utama

Perlu Membedakan Tanggung Jawab Korporasi dan Pengurus dalam RKUHP

Karena pengurus korporasi juga dapat dipidana dan tidak serta merta berkedudukan fungsional, tapi memiliki kesalahan dalam berkontribusi terjadinya tindak pidana.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU KUHP
Ilustrasi pembahasan RUU KUHP

Pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dianggap kalangan pegiat hukum lingkungan belum memadai. Pemerintah selaku penyusun RKUHP diminta memasukkan aturan pertanggungjawaban pengurus korporasi agar ada pembeda antara pertanggungjawaban korporasi dengan pengurus korporasi.

Demikian disampaikan Peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) Marsya M. Handayani dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Kerja (Panja) RKUHP Komisi III di Komplek Gedung Parlemen, Senin (14/11/2022) kemarin. “Seharusnya RKUHP membedakan tanggung jawab pengurus dan tangggung jawab korporasi,” ujarnya.

Dia mengatakan pengaturan pertanggungjawaban korporasi diatur dalam Pasal 46 sampai dengan 49 RKUHP. Ia melihat sebaiknya tidak membatasi atribusi kesalahan hanya pada dua teori. Pertama, indentifikasi atau orang yang berada dalam kedudukan fungsional. Kedua, tanggung jawab pengganti kesalahan fungsional menjadi pelaku korporasi. “Masih terdapat teori kesalahan organisasi yang menyatakan korporasi memiliki kesalahan tersendiri,” kata Marsha.  

Baca Juga:

Pasal 46

Tindak Pidana oleh Korporasi merupakan Tindak Pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak demi kepentingan Korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

Pasal 47

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Tindak Pidana oleh Korporasi dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat Korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.

Pasal 48

Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika: a. termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi; b. menguntungkan Korporasi secara melawan hukum; dan c. diterima sebagai kebijakan Korporasi.

Pasal 49

Pertanggungjawaban atas Tindak Pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dikenakan terhadap Korporasi, pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi.

Menurutnya, setidaknya ada empat hal dalam melihat kesalahan korporasi yakni kebijakan korporasi, kultur korporasi, kegagalan pencegahan suatu tindak pidana, dan ketiadaan tindakan reaktif dalam mencegah terjadinya tindak pidana tersebut. Dalam praktik banyak terjadi kasus tindak pidana lingkungan hidup. Seperti kasus kebakaran hutan dan lahan, banyak perusahaan dipidana lantaran tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) tentang pencegahan yang mengakibatkan terjadi kebakaran hutan dan lahan di banyak daerah. 

“Jadi kesalahan pengurus dianggap kesalahan korporasi. Atas dasar itulah, RKUHP perlu membedakan pertanggungjawaban korporasi dan pengurus,” tegasnya.

Untuk itu, kesalahan pengurus harus diatur tersendiri dalam RKUHP. Sebab, pengurus korporasi pun dapat dipidana dan tidak serta merta berkedudukan fungsional, tapi memiliki kesalahan dalam berkontribusi terjadinya tindak pidana. Seperti melakukan tindak pidana, turut serta melakukan tindak pidana, dan memiliki kuasa tapi gagal melakukan pencegahan. “Dan mengetahui adanya tindak pidana dan memiliki kuasa tindak pidana tidak terjadi,” katanya.

Anggota Panja RKUHP, Arsul Sani menilai pengaturan rumusan pasal tindak pidana korporasi dalam RKUHP tak lebih baik dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Menurutnya aturan dalam Perma 13/2016 jauh lebih baik normanya. “Ini menjadi bahan buat kami,” kata Arsul.

Arsul melanjutkan perbedaan aturan soal pertanggungjawaban korporasi dalam Perma 13/2016 dan RKUHP tidaklah menjadi perdebatan politik. Tapi lebih pada perdebatan pembuatan produk legislasi dalam bentuk UU menjadi lebih baik. Yang pasti, kata Arsul, Panja RKUHP Komisi III bakal mengupas norma pengaturan pertanggungjawaban korporasi bersama pemerintah secara mendalam.

“Posisi kami akan lebih bertanya. Kita ini politisi, bukan ahli hukum pidana. Kalau pemerintah tidak melakukan itu, kita akan pertanyakan. Secara prinsip, kenapa tidak copas saja dari Perma yang rumusannya lebih baik?” ujarnya mempertanyakan.

Tags:

Berita Terkait