Dalam penentuan mata kuliah, fakultas hukum di Indonesia lebih cenderung membuat mata kuliah-mata kuliah baru dan menghapuskan sejarah hukum. Sejarah tokoh hukum akhirnya lebih banyak dikaji orang non-hukum. “Fakultas Hukum bergerak sesuai pasar. Kalau pasar ke kanan, kurikulum fakultas hukum bergerak ke kanan,” kritik Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi Isra.
Kritik senada datang dari Satya Arinanto. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengecam kecenderungan hilangnya pelajaran sejarah hukum di fakultas-fakultas hukum. Padahal sejarah hukum, seperti mempelajari pemikiran Yamin dan Soepomo, sangat bermanfaat. “Akan sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan rekonstruksi pemikiran para tokoh hukum di Indonesia pada masa yang akan datang,” papar Prof. Satya saat menjadi pembicara dalam ‘konferensi Pemikiran Soepomo dan Yamin’ di Bandung, Jum’at (30/10).
Pusat Kajian Tokoh dan Pemikiran Hukum (Pustokum) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung menyelenggarakan konferensi itu dengan mengundang sejumlah akademisi dan tokoh hukum. konferensi menggali dna mengkontekstualisasi pemikiran Prof. Soepomo dan Prof. Muhammad Yamin dengan kondisi kekinian.
Kondisi ironis di fakultas hukum adalah pengajaran yang lebih mengedepankan pemikiran tokoh-tokoh dari luar, sejarah konstitusi negara asing seperti Amerika Serikat, dan melupakan sejarah tokoh dan pemikiran yang melahirkan konstitusi Indonesia. Dalam konteks itu, Saldi mengajak perguruan tinggi memberikan ruang kepada mahasiswa baik level strata-1 mauun magister dan doktor, untuk menulis tugas akhir mengenai tokoh hukum Indonesia tertentu dan pemikirannya. “Kampus harus membuka ruang,” usul Saldi.
Pemikiran Soepomo dan Yamin termasuk yang banyak dikaji dan dikembangkan dalam berbagai aspek. Misalnya perbedaan pandangan kedua tokoh hukum ini mengenai hak asasi manusia, judicial review, hubungan negara dengan agama, serta hubungan negara dengan warga negara. Menurut Satya, penulisan sejarah tokoh hukum tidak berhenti di Yamin dan Soepomo. Banyak tokoh sejarah yang pemikirannya kontroversial dan perlu digali.
Cuma, Satya mengingatkan pentingnya menuliskan sejarah tokoh hukum secara jujur dan objektif. Jika tidak, penulisan itu bisa melahirkan persepsi yang salah tentang tokoh hukum tertentu. Misalnya, orang seringkali menganggap Soepomo tak setuju hak asasi manusia. Padahal sebagai orang yang juga terlibat dalam penyusunan UUD RIS dan UUDS 1950, Soepomo tak berkeberatan masuknya pasal-pasal hak asasi manusia.
Contoh lain ditunjukkan Efik Yusdiansyah. Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung ini orang seringkali mempertanyakan apakah konsep negara integralistik Soepomo tak mengakui kedaulatan rakyat. Pertanyaan ini mengemuka karena menurut Soepomo, individu adalah bagian dari masyarakat. Kehidupan individu mengabdi untuk kehidupan masyarakat. Efik percaya Soepomo tetap mengakui kedaulatan rakyat. Pengakuan ini tertuang dalam pidato Soepomo pada 18 Agustus 1945.
Satya menilai kesalahan persepsi bisa terjadi karena data yang dipakai salah atau kurang lengkap. Bisa juga karena motif tertentu dari penulis misalnya karena ada kepentingan politik.