Perlu Kejelasan Nasib RUU Etika Penyelenggara Negara
Berita

Perlu Kejelasan Nasib RUU Etika Penyelenggara Negara

Pemerintah maupun DPR harus segera menyiapkan naskah akademik beserta draf RUU Etika Penyelenggara Negara.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ketua MPR Bambang Soesatyo memukul gong didampingi Ketua KY Jaja Ahmad, Ketua Dewan DKPP Muhammad, dan Sekjen MPR Ma'ruf Cahyono dalam acara Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/11). Foto: RES
Ketua MPR Bambang Soesatyo memukul gong didampingi Ketua KY Jaja Ahmad, Ketua Dewan DKPP Muhammad, dan Sekjen MPR Ma'ruf Cahyono dalam acara Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/11). Foto: RES

Sudah saatnya pelayanan masyarakat oleh penyelenggara negara harus didasarkan pada etika. Untuk itu, pentingnya pengaturan etika bagi penyelenggara negara dituangkan dalam aturan setingkat Undang-Undang (UU). Namun, RUU tentang Etika Penyelenggara Negara yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 belum ada kejelasan dan kepastian kapan bakal dimasukan dalam prolegnas prioritas, apalagi dibahas.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menilai pemerintah dan DPR semestinya memberi kepastian kapan RUU Etika Penyelenggara Negara dapat masuk prolegnas prioritas tahunan. Selanjutnya, RUU tersebut dibahas dan dirampungkan sebagai amanat Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Artinya, UU Etika Penyelenggara Negara menjadi aturan turunan dari TAP VI/MPR/2001.

“Setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, dan rendah hati, serta siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat,” ujar Bambang Soesatyo usai membuka Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa, di Gedung MPR RI, Rabu (11/11/20) kemarin.

Ditegaskan Bambang, aturan dalam upaya penegakan etika kehidupan berbangsa dan bernegara bagi penyelenggara negara mesti dituangkan dalam UU, khususnya terkait etika pemerintahan, serta etika penegakan hukum yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum. Karena itu, pemerintah atau DPR harus segera menyiapkan naskah akademik beserta draf RUU Etika Penyelenggara Negara.

Menurutnya, TAP VI/MPR/2001 muncul akibat keprihatinan krisis multidimensional. Terlebih adanya ancaman serius terhadap persatuan bangsa serta terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa kala itu. Ketiadaan aturan etika penyelenggara negara di level UU menyebabkan tak ada aturan seragam soal etika, khususnya bagi penyelenggara negara.

“Sesuai Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang,” kata dia. (Baca Juga: Tiga Lembaga Ini Gagas Konvensi Atika Berbangsa dan Bernegara)

Mantan Ketua DPR periode 2014-2019 itu melanjutkan keberlakuan TAP MPR I/MPR/2003 dipertegas dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Intinya, menempatkan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945, dan di atas undang-undang. 

Sayangnya, kata politisi Partai Golkar itu, tak banyak orang menyadari keberadaan TAP MPR VI/MPR/2001 ini. Padahal, TAP MPR itu memiliki kekuatan hukum mengikat bagi seluruh penyelenggara negara dan masyarakat. Makanya, tak heran banyak pejabat publik melakukan pengingkaran terhadap etika kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk mengingkari sumpah jabatan sebagai penyelenggara negara.

Mendukung penuh

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi Yudisial (KY), Jaja Ahmad Jayus mengingatkan amanat Pasal 24C UUD 1945 mengamanatkan agar KY sebagai lembaga negara melakukan pengawasan etika, khususnya bagi para hakim. Gagasan MPR agar ada UU Etika Penyelenggara Negara sebagai amanat TAP MPR VI/MPR/2001 perlu didukung penuh. Apalagi, hal ini pernah digulirkan saat konvensi pada 2017 dan kembali dilakukan MPR di kepemimpinan Bamsoet.

“Mudah-mudahan sebagaimana disampaikan Ketua MPR ada wujud dan implementasi dalam bentuk UU yang memuat prinsip-prinsip dasar tentang etika penyelenggara negara sebagaimana didalam RUU tahun 2014,” ujar pria yang akrab disapa Bamsoet.

Dia pun memiliki harapan serupa dengan Bamsoet. Menurutnya, Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa menjadi momentum yang tepat dalam merumuskan dan mematangkan gagasan dalam membuat aturan etika penyelenggara negara. Setidaknya agar setiap penyelenggara negara ataupun masyarakat secara luas memahami secara utuh tentang atika berbangsa dan bernegara.

Di bidang hukum, Jaja sempat berandai-andai bila semua hakim beretika, maka penegakan hukum yang berkeadilan bakal terwujud. Dengan begitu, hukum sebagai panglima yang diidam-idamkan bakal tegak berdiri sebagaimana amanat TAP MPR VI/MPR/2001. “Masyarakat kita semakin beretika dalam pengertian menuju ke arah yang lebih baik dari sisi akhlak atau perilaku sehati-harinya,” ujarnya.

Komisioner Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Alfitra Salam mendukung penuh gagasan agar etika penyelenggara negara dituangkan dalam bentuk UU. Dia mengklaim DKPP sebagai lembaga yang telah menjalankan etika, khususnya etika bagi penyelenggara pemilu. DKPP bakal memberi pengalaman dalam proses dan cara melakukan pemeriksaan serta memberi sanksi terhadap pelanggaran penyelenggara pemilu. “Tentunya kami sebagai pelopor,” ujarnya.

Dia menilai DKPP telah teratur dan terukur tentang bagaimana mengukur pelanggaran-pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan penyelenggara pemilu. Karena itu, adanya gagasan menuangkan aturan etika bagi penyelenggara negara, DKPP mendukung penuh. Bahkan, pihaknya menjadi bagian yang mendorong agar segera diwujudkan RUU Etika Penyelenggara Negara.

“Agar nanti berdirinya sebuah lembaga etik nasional dan juga mahkamah etik, sehingga terwujud apa yang kita inginkan,” imbuhnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) MPR, Maruf Cahyono mengatakan melalui konferensi nasional etika kehidupan berbangsa diharapkan menghasilkan kajian komprehensif terhadap TAP MPR VI/MPR/2001 dan kemudian terdapat penggantinya dalam bentuk UU.

Hasil konferensi yang berdiskusi dengan KY, DKPP bakal ditindaklanjuti melalui kelompok kerja (Pokja) dan muaranya menghasilkan rekomendasi-rekomendasi. “Rekomendasi tersebut nantinya diberikan ke pemerintah dan DPR,” katanya.

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait