Perlu Integrasi Kebijakan Pro Bono dan Bantuan Hukum Nasional
Berita

Perlu Integrasi Kebijakan Pro Bono dan Bantuan Hukum Nasional

Agar tepat sasaran untuk memberikan akses keadilan yang sama bagi semua.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Para narasumber dalam diskusi dan peluncuran buku hasil penelitian MaPPI, Selasa (30/7). Foto: NEE
Para narasumber dalam diskusi dan peluncuran buku hasil penelitian MaPPI, Selasa (30/7). Foto: NEE

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) meluncurkan hasil penelitiannya berjudul Pro Bono: Prinsip dan Praktik di Indonesia, Selasa (30/7) lalu. Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah integrasi pelaksanaan pro bono dengan bantuan hukum nasional. “Dilihat dari tujuannya, perlu untuk mengintegrasikannya,” kata Peneliti MaPPI, Siska Trisia kepada Hukumonline.

 

Hasil penelitian MaPPI menunjukkan telah terjadi tumpang tindih pemahaman dan pelaksanaan pro bono dengan bantuan hukum. Para responden yang notabene adalah advokat ternyata banyak yang tidak bisa membedakan mulai dari dasar hukum hingga prosedur teknis pelaksanaan pro bono dan bantuan hukum.

 

“Ada pengurus Peradi yang bahkan tidak tahu apa itu pro bono, ada juga pusat bantuan hukum Peradi yang justru mengakses dana program bantuan hukum,” kata Siska menambahkan. Di satu sisi, hal ini dapat dipahami dengan mengingat ada kemiripan definisi dalam masing-masing undang-undang.

 

Pro bono (bantuan hukum secara cuma-cuma) sebagai bagian dari tanggung jawab profesi advokat telah dikenal hampir seusia profesi itu sendiri di seluruh dunia. Sejak berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), konsep tersebut dilembagakan secara yuridis sebagai suatu kewajiban profesi bagi para advokat Indonesia.

 

Tentu saja sasaran utama dari jasa pro bono adalah mewujudkan akses keadilan bagi kalangan tidak mampu. Mereka menjadi kelompok rentan karena tidak mampu membayar jasa advokat untuk menyelesaikan perkara mereka. Di sisi lain, dikenal pula kebijakan negara berupa program bantuan hukum untuk sasaran yang sama.

 

Bantuan hukum (legal aid) adalah konsep yang dianggap bersumber dari tanggung jawab negara. Negara wajib memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, semua warga negara harus dijamin memiliki akses yang sama terhadap keadilan.

 

Konsep tersebut baru dijalankan serius sejak hadirnya UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Negara menyalurkan pendanaan setiap tahun untuk membantu masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum. Tentu saja program ini juga melibatkan profesi advokat dalam pelaksanaannya.

 

Perbedaan yang harus dipahami adalah bantuan hukum dilaksanakan dengan pendanaan dari negara. Para pemberi bantuan hukum berhak mengakses sejumlah dana yang disediakan untuk keperluan penanganan masalah hukum kalangan miskin. Sedangkan pro bono dilakukan oleh advokat secara gratis tanpa menerima pembayaran honorarium.

 

MaPPI menilai pembuat kebijakan perlu mengintegrasikan kebijakan pro bono dengan bantuan hukum negara sebagai skema yang saling melengkapi. Poin pentingnya adalah memenuhi akses terhadap keadilan. Salah satu yang dianggap perlu adalah mendefinisikan ulang apa yang dimaksud pro bono dan bantuan hukum.

 

Pendefinisian ulang ini berangkat dari kenyataan bahwa definisi yang diatur masih kurang jelas. Definisi subjek pelaku, perbuatan, dan objek penerima dalam UU Bantuan Hukum maupun UU Advokat serta peraturan pemerintah terkait cenderung serupa. Hasilnya adalah banyak advokat yang menyamakan antara pro bono dengan bantuan hukum.

 

Baca:

 

Menyelamatkan sandwich people

MaPPI mengambil contoh integrasi pro bono dengan bantuan hukum di Australia. Pro bono ditempatkan sebagai pelengkap dari kebijakan bantuan hukum. Para pencari keadilan yang tidak mendapatkan bantuan hukum negara dapat meminta bantuan pro bono kepada advokat.

 

Riset MaPPI menemukan pola bahwa pencari keadilan di Australia didorong untuk lebih dulu mengakses layanan bantuan hukum sebelum akhirnya memohon jasa pro bono. Pencari keadilan harus melampirkan surat penolakan layanan bantuan hukum ketika mengajukan permohonan pro bono.

 

Bahkan model ini memiliki satu kelebihan untuk mengakomodasi kalangan tidak mampu atau kelompok rentan yang memang bukan golongan miskin. Banyak juga masyarakat kelas menengah yang tidak berhak mendapatkan akses layanan bantuan hukum negara namun mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk menyewa jasa seorang advokat.

 

Bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah Australia itu dikelola oleh Legal Aid Commission (Komisi Bantuan Hukum) dengan keleluasaan negara bagian untuk mengatur sendiri ketentuan tentang pemberian bantuan hukum. Semua orang dapat mengajukan permohonan bantuan hukum yang akan diseleksi sesuai panduan yang dimiliki negara bagian.

 

MaPPI mencatat Legal Aid Commission di Australia pada tahun 1994-1995 menerima 175,028 permohonan bantuan hukum dari seluruh yurisdiksi. Namun hanya 135,903 yang permohonan diterima.

 

Australia menganggap bahwa layanan pro bono tidak saja dapat diberikan secara gratis, namun juga dengan meminta bayaran kepada klien secara diskon. Hal ini karena pemberian pro bono tidak hanya kepada orang miskin melainkan juga kepada kelas menengah atau sandwich people.

 

Kelompok bukan miskin ini adalah kelompok yang tidak masuk dalam kategori miskin sehingga tidak berhak untuk mendapatkan layanan bantuan hukum negara. Namun mereka juga tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk membayar jasa advokat secara penuh.

 

Ini berbeda dari Indonesia yang membatasi pro bono hanya kepada masayarakat miskin. Akibatnya masyarakat kelas menengah juga menjadi kelompok yang rentan dan tidak mendapatkan akses terhadap bantuan hukum.

 

Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, mengungkapkan bahwa skema pro bono dan bantuan hukum seharusnya bisa berjalan saling melengkapi. “Memang harusnya sistem itu terdiri dari pro bono dan bantuan hukum, karena anggaran pemerintah terbatas,” katanya kepada Hukumonline.

 

Ia melihat seharusnya pro bono advokat menjadi jalan keluar untuk melayani kebutuhan sandwich people. “Mungkin mereka masih bisa memenuhi kebutuhan makan dua kali sehari dan punya tempat tinggal, tapi untuk membayar jasa advokat tidak mampu,” ujarnya menambahkan.

 

Advokat bisa tetap membantu kalangan ini baik secara gratis atau pemberian diskon dengan tetap dihitung sedang menjalankan pro bono. Tentu dengan tetap mempertimbangkan kriteria perkara macam apa yang sedang dihadapi.

 

UU Advokat

PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma

Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma

UU Bantuan Hukum

Pasal 1 angka 9

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada

Klien yang tidak mampu.

Pasal 1

3.Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima

pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili,

mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang

tidak mampu.

4. Pencari Keadilan yang Tidak Mampu yang selanjutnya disebut Pencari Keadilan adalah orang

perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum

Advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Pasal 1

1.Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima

pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili,

mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang

tidak mampu.

………

3. Pencari keadilan yang

tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu. Termasuk dalam kategori pencari  keadilan

tidak mampu adalah orang atau kelompok yang lemah secara sosial-politik, sehingga kesempatannya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak sama dengan anggota masyarakat lainnya.

Pasal 1

1. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma

kepada Penerima Bantuan Hukum.

2. Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

Pasal 22

(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4 ayat 3

(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pencari Keadilan harus melampirkan

keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Penjelasan

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang” adalah lurah atau kepala desa setempat yang

memberikan surat keterangan tidak mampu yang diketahui oleh camat setempat.

Pasal 3

(1) Advokat dalam pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dilarang untuk menerima dana untuk kepentingan apapun dari pencari keadilan yang tidak mampu.

(2) Dana-dana bantuan hukum yang berasal dari negara atau lembaga bantuan hukum, yang diberikan kepada advokat dalam rangka memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu tidak dihitung sebagai pembayaran honorarium advokat.

Pasal 14

(1) Untuk memperoleh Bantuan Hukum, pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat-syarat:

………

c. melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat

tinggal pemohon Bantuan Hukum.

Pasal 16

(1)Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum

sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

 

Tumpang tindih penyaluran dana

Menarik untuk dibandingkan bahwa sebenarnya ada perbedaan istilah yang digunakan oleh regulasi tentang pro bono dan bantuan hukum terkait subjek penerimanya. Meskipun sama-sama menyebut sebagai bantuan hukum secara cuma-cuma, UU Advokat menyebut penerima pro bono sebagai ‘tidak mampu’ sedangkan UU Bantuan Hukum langsung menyebutnya ‘miskin’.

 

Pengaturan lebih lanjut UU Advokat dalam PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma menjelaskan maksud ‘tidak mampu’ dalam hal secara ekonomis. Namun penjelasan ini juga tidak menggunakan istilah ‘miskin’.

 

Pasal 1 Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma ternyata memberikan penjelasan yang lebih luas. Diatur bahwa ‘lemah secara sosial-politik’ termasuk dalam kategori ‘tidak mampu’. Hanya saja para penerima bantuan baik yang ‘tidak mampu’ maupun ‘miskin’ itu sama-sama harus melampirkan ‘surat keterangan tidak mampu’ atau ‘surat keterangan miskin’.

 

Hal lain yang menarik diperhatikan adalah regulasi tentang pro bono hanya melarang advokat menerima honorarium dari pencari keadilan. Sementara dalam pasal 3 Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010 menjelaskan bahwa dana yang diterima advokat dari negara atau lembaga bantuan hukum dalam menjalankan pro bono tidak dihitung sebagai pembayaran honorarium advokat. Artinya, advokat bisa saja menerima dana dari program bantuan hukum selama bukan digunakan untuk komponen honorarium.

Tags:

Berita Terkait