Perlu Inovasi Pengaturan Eksekusi Putusan dalam RUU Hukum Acara Perdata
Utama

Perlu Inovasi Pengaturan Eksekusi Putusan dalam RUU Hukum Acara Perdata

Seperti perbaikan tata kelola eksekusi, hingga reformasi sistem dan peningkatan sumber daya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Perlu Inovasi Pengaturan Eksekusi Putusan dalam RUU Hukum Acara Perdata. Foto: RFQ
Perlu Inovasi Pengaturan Eksekusi Putusan dalam RUU Hukum Acara Perdata. Foto: RFQ

Praktik tata kelola eksekusi putusan perdata di Indonesia masih menggantungkan pada kewenangan ketua pengadilan. Termasuk soal database sistem monitoring pelaksanaan eksekusi. Kompetensi dan jumlah pelaksana eksekusi alias juru sita pun menjadi soal, akibat tidak seimbangnya antara tugas dan tanggung jawabnya. Karenanya, dibutuhkan inovasi pengaturan eksekusi putusan perdata yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam mendapatkan akses keadilan.

“Politik hukum yang tidak maksimal mengenai reformasi eksekusi perdata yang mengakibatkan penegakan hukum perdata tidak sampai tuntas,” ujar dosen hukum perdata Fakultas Hukum (FH) Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Nisa Istiani dalam webinar bertajuk ‘RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan’ beberapa hari lalu secara daring.

Begitu pula dengan prosedur eksekusi perdata yang berlaku dinilai tak lagi memenuhi kebutuhan masyarakat. Khususnya dalam hal kurangnya pengaturan mengenai pengajuan permohonan, pembayaran panjar eksekusi, penelaahan permohonan, pemanggilan termohon, aanmaning dan penetapan eksekusi. Bahkan untuk eksekusi riil, ketiadaan pengaturan biaya eksekusi. Termasuk mekanisme eksekusi saat objek eksekusi tidak jelas, hingga mekanisme biaya keamanan eksekusi.

Termasuk, kurang jelasnya mekanisme uang pengganti perbuatan, khusus dalam hal eksekusi melakukan perbuatan. Sementara untuk eksekusi putusan quasi yudisial dan dokumen yang disamakan dengan putusan pengadilan, ketiadaan irah irah, mekanisme eksekusi atas putusan quasi yudisial, jangka waktu dan kondisi permohonan eksekusi diajukan ke pengadilan. Serta ketidakjelasan syarat formil dan materil grosse akta, dan eksekusi jaminan fidusia.

Menurutnya, indikator keberhasilan eksekusi dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, adanya kepastian dan prediktabilitas atas prosedur. Kedua, adanya pelaksana eksekusi yang memiliki pemahaman dan kompetensi. Ketiga, adanya akses data bagi petugas eksekusi. Keempat, adanya sistem memonitor dan evaluasi pelaksanaan eksekusi secara transparan. Kelima, adanya kepastian waktu dan biaya. Keenam, adanya informasi yang kredibel dan dapat diakses oleh pencari keadilan dalam proses eksekusi.

Baca Juga:

Bagi Nisa, profesionalitas juru sita berdampak terhadap pelaksanaan eksekusi. Bila di Indonesia juru sita berada di bawah pengadilan, sedangkan di banyak negara maju, juru sita terpisah dari pengadilan dan berdiri secara independen dan profesional. Seperti halnya di Belanda, Australia, Jerman, hingga Thailand.

Pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan dalam draf RUU Hukum Acara Perdata versi 17 April 2021 diatur dalam Bab XI, khususnya dalam Pasal 208-229. Nisa mengakui pengaturan eksekusi dalam RUU Hukum Acara Perdata cenderung lebih terstruktur ketimbang Herzien Inlandsch Reglement (HIR), dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB).

Tapi, sebagian besar pengaturan di HIR mengenai pelaksanaan eksekusi putusan diatur ulang dalam RUU Hukum Acara Perdata. Nah karenanya, pengaturan pelaksanaan eksekusi putusan dalam RUU belum merespon akar permasalahan eksekusi, khususnya terkait dengan tata kelola eksekusi dan prosedur eksekusi.

Untuk itu, pentingnya membuat terobosan berupa inovasi regulasi sebagaimana yang diharapkan dalam muatan materi RUU Hukum Acara Perdata. Pertama, inovasi soal adanya perbaikan tata kelola eksekusi. Seperti adanya hakim/pejabat pengadilan yang ditugaskan khusus untuk mengelola eksekusi. Misalnya bertugas mulai memeriksa dapat tidaknya suatu putusan dieksekusi, sehingga eksekusi tersebut dapat dilakukan sah secara hukum.

Kemudian memeriksa permohonan eksekusi dan mengeluarkan surat penetapan eksekusi. Serta memanggil pihak yang akan dieksekusi untuk memberikan informasi terkait asetnya. Tak hanya itu, pejabat tersebut diharapkan dapat mengakses data untuk melakukan penelusuran aset. Kedua, pengaturan terkait penelusuran aset, pelaksanaan sita eksekusi, pemeriksaan dan penilaian aset barang sitaan. Kemudian pemeliharaan barang sitaan, dan penjualan barang sitaan eksekusi dalam hal eksekusi pembayaran sejumlah uang.

Ketiga, adaptasi atas sistem elektronik. Keempat, untuk eksekusi riil, pengaturan biaya eksekusi, mekanisme eksekusi saat objek eksekusi tidak jelas atau sudah berubah, mekanisme eksekusi terkait hak pihak ketiga, mekanisme eksekusi jika terkait dengan hukum/obyek adat, mekanisme atas barang barang yang ada pada objek eksekusi, mekanisme biaya keamanan eksekusi, mekanisme eksekusi terhadap orang.

Kelima, inovasi peruntukan eksekusi melakukan perbuatan, mekanisme uang pengganti perbuatan, waktu penghitungan dwangsom. Keenam, untuk eksekusi putusan quasi yudisial dan dokumen yang disamakan dengan putusan pengadilan, pengaturan atas ketiadaan irah-irah, hingga ketidakjelasan eksekusi jaminan fidusia.

Dia juga mengusulkan perbaikan sistem dan infrastruktur. Seperti perbaikan tata kelola. Mulai dari adanya tugas khusus dalam struktur di Mahkamah Agung maupun di pengadilan sebagai pelaksana eksekusi. Kemudian penyempurnaan aturan melalui Perma atau UU lain yang diperlukan. Selanjutnya, adanya database atas pelaksanaan eksekusi yang dapat diakses juga oleh publik.

“Serta peningkatan kompetensi juru sita melalui perbaikan persyaratan dan pelaksanaan rekrutmen serta pelatihan disesuaikan dengan analisa jabatan dan beban kerja,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Johanna Poerba sependapat dengan Nisa. Menurutnya memang diperlukan perbaikan dan inovasi dalam eksekusi putusan. Memang RUU Hukum Acara Perdata telah mengatur mekanisme eksekusi dalam Bab XI dengan beberapa penambahan dan penegasan.

Tapi, hambatan dalam implementasi eksekusi putusan perdata masih terbilang banyak. Karenanya perlu perbaikan regulasi di dalam ataupun di luar RUU Hukum Acara Perdata. “Termasuk perbaikan sistem dan peningkatan sumber daya,” pungkas Johanna.

Tags:

Berita Terkait