Perlu Evaluasi Berkala Tarif PCR untuk Menutup Celah Pejabat Berbisnis
Terbaru

Perlu Evaluasi Berkala Tarif PCR untuk Menutup Celah Pejabat Berbisnis

Upaya mengeruk keuntungan tanpa nurani di masa pandemi dinilai tidak etis dan menohok rasa kemanusiaan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di masa wabah penyakit menjadi hal yang tidak etis. Apalagi ditengarai dilakukan oleh pejabat publik. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi secara berkala terkait tarif tes Reverse Transcription (RT) Polymerase Chain Reaction (PCR) dalam upaya menutup kepentingan bisnis pihak-piihak yang berupaya mengeruk keuntungan di tengah kesulitan ekonomi.

“Hal ini upaya pemerintah dalam mencegah sekaligus menutup potensi masuknya kepentingan bisnis yang bisa merugikan masyarakat,” ujar Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Selasa (9/11/2021) kemarin.

Dia meminta komitmen pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengevaluasi berkala tarif PCR dengan mempertimbangkan kondisi yang ada dan kemampuan daya beli masyarakat agar tarif tes PCR dapat terjangkau.

“Kita minta pemerintah memberikan penjelasan dan pemahaman bagi setiap pelaku usaha sektor kesehatan, khususnya pelayanan tes Covid-19 terkait proses evaluasi sesuai standar penentuan harga produk dan layanan,” ujar politisi Partai Golkar itu. (Baca Juga: Jadi Polemik di Masyarakat, Presiden Minta Menkes Turunkan Biaya Tes PCR)

Sementara itu, Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menyesalkan masih mahalnya tarif tes PCR bagi masyarakat. Padahal, PCR menjadi cara memitigasi penyebaran Covid-19 yang seharusnya harganya lebih terjangkau. Bila tarif PCR yang diterapkan jauh di atas harga keekonomian berdampak makin menyusahkan masyarakat. “Upaya mengambil untung tanpa nurani di masa pandemi ini tentu menohok rasa kemanusiaan. Pemerintah seharusnya tidak menutup mata dengan tarif tes PCR yang begitu mahal selama ini,” kata dia.  

Menurutnya, bila terus dibiarkan, sama halnya pemerintah membiarkan kepentingan bisnis yang mengeruk keuntungan yang tidak manusiawi di atas penderitaan rakyat banyak. Dia mengakui memang adanya penurunan tarif tes PCR. Namun perubahan harga yang baru pun dirasa tinggi bagi masyarakat di tengah terpuruknya perekonomian keluarga di masyarakat.

Anggota Komisi I DPR ini meminta agar pemerintah serius mengaudit tarif tes PCR yang berlaku secara berkala. Bila terdapat skandal hukum dalam RT PCR oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan di tengah pandemi penegak hukum harus mengusut tuntas dan membuka ke publik. “Jika memang pemerintah tidak kuasa menghentikan eksploitasi ini, sangat wajar rakyat bertanya, ‘kemana pemerintah berpihak?’.”

Sebelumnya, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai penurunan tarif tes PCR tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Kebijakan ini diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat perjalanan moda transportasi.

Dia melihat kebijakan harga tes PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 kali. Pada saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah. Alhasil, harganya melambung tinggi, bahkan bisa mencapai Rp2,5 juta. Kemudian Oktober 2020, pemerintah baru mengontrol harga tes PCR menjadi Rp900 ribu. Berlanjut 10 bulan kemudian, harga PCR kembali turun menjadi Rp495.000-Rp525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu, pemerintah kembali menurunkan harga tes PCR menjadi Rp 275.000-Rp 300.000.

Menurut Isnur, dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga kini, diperikirakan ada lebih dari Rp23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp10 triliun lebih. Bila kebijakan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Namun belakangan, tes PCR sebagai syarat perjalanan moda transportasi udara dan darat dianulir dan diubah cukup dengan tes antigen.

Dia melanjutkan berdasarkan anggaran penanganan Covid-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6% dari Rp 99,5 triliun. Kondisi keuangan tahun 2021 pun demikian. Per 15 Oktober 2021 diketahui dari Rp193,9 triliun alokasi anggaran penanganan Covid-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9 persen.

“Dengan kondisi penyerapan anggaran tersebut sebenarnya pemerintah masih memiliki sumber daya untuk memberi akses layanan pemeriksaan PCR secara gratis kepada masyarakat.”

Tags:

Berita Terkait