Perlu Dipahami! Pemerintah Tetapkan 5 Dimensi Penataan Regulasi Nasional
Penataan Regulasi:

Perlu Dipahami! Pemerintah Tetapkan 5 Dimensi Penataan Regulasi Nasional

Salah satu tantangan terberat adalah menata regulasi di daerah. Dipakai dalam pembentukan dan evaluasi peraturan.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Rapat koordinasi penataan regulasi. Foto: MYS
Rapat koordinasi penataan regulasi. Foto: MYS

Dalam rangka memperbaiki peringkat Indonesia dalam kemudahan berusaha (ease of doing business/EODB), Pemerintah melakukan penataan regulasi nasional. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak sejalan dengan kemudahan berusaha dihapuskan, dicabut, direvisi, atau diperbaiki. Namun, melakukan penataan regulasi itu tak semudah membalik telapak tangan. Normatifnya, harus ada kriteria yang jelas untuk membatalkan suatu peraturan.

 

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, telah menetapkan lima dimensi yang dipakai untuk menata regulasi nasional. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly meluncurkan lima dimensi itu bersamaan dengan Rapat Koordinasi Penataan Regulasi yang diselenggarakan di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Rabu (07/2) kemarin.

 

Yasonna menjelaskan Pemerintah terus melakukan ikhtiar untuk merespons perubahan yang terjadi. Salah satu yang harus dilakukan adalah mempermudah iklim berusaha dengan menata regulasi. Penataan regulasi itu dilakukan dengan melibatkan akademisi dan masyarakat sipil. “Penataan regulasi mendesak dilakukan,” tegasnya di hadapan ratusan peserta rapat lintas instansi itu.

 

(Baca juga: Pemerintah Siapkan Pedoman Satgas Percepatan Pelaksanaan Berusaha).

 

Pemerintah telah menetapkan lima dimensi yang dipakai dalam penataan regulasi nasional. Menurut Yasonna, dimensi itu dipakai sebagai pedoman, standar nilai, atau panduan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di pusat dan daerah.

 

Adapun dimensi pertama adalah ketepatan jenis peraturan perundang-undangan. Dimensi ini sebenarnya sejalan dengan asas dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas kesesuaian jenis antara jenis, hierarki dan materi muatan mengandung arti bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Jangan sampai peraturan daerah (Perda) mengatur materi muatan Undang-Undang apalagi jika sampai menegasikan materi muatan Undang-Undang. Mareri muatan Peraturan Menteri (Permen) juga tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

 

Dimensi kedua adalah potensi disharmoni peraturan. Para perancang peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan potensi disharmoni draf yang disiapkan dengan peraturan yang lebih tinggi. Indikator yang dipakai untuk mengukur dimensi ini adalah kewenangan, hak, kewajiban, perlindungan hukum, dan penegakan hukum. Para pembentuk peraturan perlu mempertanyakan lebih dahulu: apakah lembaga tertentu berwenang perbuatan yang akan diatur? Apakah organisasi pemerintahan daerah punya hak untuk menetapkan dan menarik retribusi tertentu dari pelaku usaha?

 

Dimensi ketiga adalah kejelasan rumusan. Ini juga sejalan dengan asas dalam UU No. 12 Tahun 2011. Asas kejelasan rumusan mengandung arti setiap peraturn harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaan. Prakteknya, istilah yang dipakai dan maksud antara dua undang-undang bisa berbeda.

 

Dimensi keempat adalah penilaian kesesuaian norma dan ketepatan asas. Asas pembentukan ini meliputi pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, Kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Ini juga merupakan asas yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Terakhir, dimensi kelima, adalah efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Para pembentuk peraturan perlu memikirkan sejak awal apakah peraturan tersebut bisa dijalankan di lapangan, apakah sumber daya manusia pelaksananya tersedia dan mencukupi, apakah sesuai dengan kultur, dan apakah bisa memberikan pelayanan yang maksimal.

 

Menteri Yasonna mengulang pesan Presiden Joko Widodo agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling menegasikan diperbaiki. Pemerintah menemukan ribuan peraturan dari pusat hingga ke daerah yang menghambat investasi. Inilah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. “Masih menjadi PR besar bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia”, ujar Yasonna.

 

(Baca juga: Jokowi: Banyak Aturan Malah Bikin Rumit).

 

Penataan regulasi melalui serangkaian paket kebijakan memang telah membuahkan hasil. Setidaknya bisa dilihat dari kenaikan posisi Indonesia dalam peringat kemudahan berusaha versi Bank Dunia. Tahun ini Indonesia sudah di posisi 72 dari 190 negara yang disurvei. Pada tahun lalu masih di posisi 91. Pemerintah menargetkan bisa masuk 40 besar negara dengan tingkat kemudahan berusaha yang tinggi.

 

Dalam rangka penataan regulasi itu, Badan Pembinaan Hukum Nasional telah melakukan analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan. Diperoleh data bahwa pada tahun 2016 telah dianalisis dan dievaluasi 193 peraturan perundang-undangan di berbagai bidang dan tingkatan. Pada tahun 2017 telah pula dievaluasi 399 peraturan perundang-undangan mulai dari Undang-Undang hingga Keputusan Presiden. Dan, pada tahun ini BPHN menargetkan analisis dan evaluasi terhadap 380 peraturan perundang-undangan.

 

Tabel Program Penataan Regulasi Terkait Kemudahan Berusaha Tahun 2018

No.

Bidang

Jumlah Tegulasi

UU/Perppu

PP

Perpres

Permen

1.

Politik hukum keamanan dan pemerintahan

43

6

3

-

2.

Ekonomi, industri perdagangan, infrastruktur

41

70

43

23

3.

Sumber daya alam dan lingkungan hidup

39

36

12

5

4.

Sosial budaya

29

21

6

7

Jumlah

152

133

64

35

Sumber: BPHN, 2018.

 

Regulasi di daerah

Salah satu tantangan terberat dalam penataan regulasi adalah menata peraturan tingkat daerah (Perda provinsi, perda kabupaten/kota, peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan walikota). Masing-masing daerah menerbitkan peraturan berdasarkan kewenangan yang dimiliki.

 

Menteri Yasonna mengakui penataan regulasi daerah tidak mudah. “Di daerah kita harus melakukan pekerjaan besqar,” imbuhnya.

 

(Baca juga: Hambat Izin Investasi, Pemda Bisa Kena Sanksi).

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional. Enny Nurbaningsih mengamini pandangan Menteri. Mengingat banyaknya daerah, dapat dipastikan banyak juga peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan. Tidak sedikit dari peraturan itu yang pembentukannya tak memenuhi kelima dimensi tersebut.

 

Masalahnya, sedikit sekali perhatian dan upaya hukum masyarakat terhadap perda-perda bermasalah. Di satu sisi jumlah perda yang diajukan uji materi ke Mahkamah Agung sedikit; di sisi lain kewenangan represif pemerintah pusat terhadap perda dibatalkan Mahkamah Konstitusi lewat putusan No. 56/PUU-XI/2016. Alhasil, hanya Mahkamah Agung yang berhak membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.

 

(Baca juga: KPPOD Kritik Putusan MK Terkait Pembatalan Perda).

 

Putusan MK tersebut mempersempit ruang bagi Pemerintah melakukan penataan regulasi daerah yang menghambat kemudahan berusaha. Itu pula sebabnya, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengkritik putusan itu sebagai putusan yang gagal memahami fakta dan persoalan pokok di lapangan. Putusan MK dianggap hanya mempertimbangkan legalitas formal.

Tags:

Berita Terkait