Perlu Dicari Model Baru Pendidikan Profesi untuk Hadirkan Advokat yang Berkualitas
Berita

Perlu Dicari Model Baru Pendidikan Profesi untuk Hadirkan Advokat yang Berkualitas

Kurikulumnya 70 persen praktikum, dan 30 persen etika.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Advokat senior, Munir Fuady memahami kegelisahan banyak advokat. Secara prinsip, ia tidak menutup mata terhadap kemungkinan penyandang profesi advokat yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyrakat pencari keadilan. Namun, Munir menyampaikan ketidaksepakatannya dengan ketentuan pendidikan advokat sebagaimana diatur Permenristekdikti. Menurut Munir, rezim pendidikan profesi sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak relevan diterapkan pada pendidikan profesi advokat. “Pendidikan profesi advokat bukan rezim pendidikan profesi UU Pendidikan Tinggi,” ujar Munir kepada hukumonline.

Ia beralasan penerapan bobot SKS yang sangat banyak ditambah adanya konsekuensi waktu tatap muka yang juga tidak sedikit tidak sesuai dengan pendidikan profesi advokat. Untuk itu, sifat kekhususan pendidikan profesi advokat harus tunduk di bawah UU Advokat. Dengan kata lain, Semangat UU Advokat masih relevan digunakan untuk menjadi panduan pendidikan profesi advokat.

(Baca juga: Munir Fuady, Advokat dengan Mimpi Seribu Buku).

Jika ada kebutuhan untuk kehadiran pihak lain yang mengawasi dan menentukan beberapa hal, kata Munir, justru peran Mahkamah Agung yang sangat dibutuhkan. Terkait kualitas, MA adalah pemangku kepentingan yang lebih paham kondisi dan kebutuhan dunia peradilan terhadap advokat yang berkualitas. “Mereka (Mahkamah Agung) adalah user,” ujar Munir.

Polemik perihal ini membuat Munir membandingkan mekanisme pendidikan advokat yang berlaku saat ini dengan masa sebelum lahirnya UU Advokat. Era sebelum UU Advokat, tidak dikenal adanya pendidikan khusus advokat. Advokat yang baru saja diangkat disebut sebagai pengacara praktik yang hanya berpraktibk pada satu wilayah pengadilan tinggi saja. Pengacara yang sudah berpengalaman disebut sebagai advokat. “Jauh hari sebelumnya, ada yang disebut dengan istilah pokrol yang mereka tidakpun pernah kuliah di Fakultas Hukum tetapi diakui keberadaannya di pengadilan,” terang Munir.

Jika dibandingkan dengan situasi di luar negeri, menurut Munir, bentuk pendidikan advokat sangat bervariasi. Pada umumnya, tidak diperlukan adanya pendidikan advokat. Kalaupun ada, hanya bersifat shortcourse atau diklat saja. Contohnya di Amerika Serikat. Tanpa pendidikan advokat, tetap bermunculan advokat-advokat berkualitas. Setelah menamatkan S1 pendidikan hukum, sarjana hukum di Amerika Serikat dapat mengikuti ujian advokat. Tentu saja tidak mudah untuk lulus ujian advokat itu. Justru inilah tantangan yang harus dipenuhi oleh setiap lulusan sarjana hukum dan pendidikan tinggi hukum.

Untuk itu menurut Munir, jika Kemenristek Dikti ingin ikut berperan, peran pada wilayah pendidikan tinggi hukumlah lebih tepat. Menristekdikti lebih tepat memperkuat pendidikan tinggi hukum agar bisa menghasilkan sarjana hukum yang berkualitas daripada memperpanjang waktu pelaksanaan pendidikan lanjutan yang bersifat profesi. Salah satu alternatif dari pendidikan khusus advokat adalah memperkuat sistem pendidikan hukum dengan memberikan mata kuliah praktik yang lebih banyak. “Dalam kurikulum pendidikan S1 saat ini masih memprihatinkan. Kalau yang ini memang merupakan ranahnya Menristekdikti,” ujar Munir.

Tags:

Berita Terkait