Perlu Ada Insentif untuk Membudayakan Pro Bono Advokat
Berita

Perlu Ada Insentif untuk Membudayakan Pro Bono Advokat

​​​​​​​Penghargaan bagi advokat atau kantor hukum yang mendukung pelaksanaan pro bono perlu dipertimbangkan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Sebagian peserta Pro Bono FGD usai berdiskusi. Foto: HOL
Sebagian peserta Pro Bono FGD usai berdiskusi. Foto: HOL

Ternyata urusan pro bono hanya sebatas tidak menerima pembayaran honorarium atas jasa hukum  advokat untuk membantu masyarakat tidak mampu. Penjelasan tersebut ditemukan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan PP No.83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma (PP Bantuan Hukum Cuma-cuma). Lalu, bagaimana caranya mendorong advokat secara aktif melakukan pro bono?

 

Pertanyaan tersebut  mengemuka dalam sebuah diskusi terarah yang diselenggarakan The Asia Foundation dan Hukumonline, Selasa (9/7). Diskusi untuk merumuskan panduan pro bono ini dihadiri sejumlah akademisi, peneliti, advokat, birokrat, bahkan hakim.

 

Asep Ridwan, salah satu peserta diskusi menyampaikan pendapatnya. “Minimal ada insentif dalam bentuk apapun, baik untuk adavokat maupun firma hukum yang mendorong advokatnya melakukan pro bono,” kata Partner di firma Assegaf Hamzah & Partners ini kepada Hukumonline.

 

Meskipun kewajiban pro bono adalah tanggung jawab moral, Asep melihat bahwa strategi untuk membudayakannya perlu menjadi perhatian. Bentuk yang paling tepat adalah insentif ketimbang paksaan untuk melakukan apalagi memberikan sanksi jika lalai.

 

Salah satu peserta diskusi perwakilan pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) ‘Rumah Bersama Advokat’, Saor Siagian memang sempat mengajukan usulan cukup tegas. Para advokat harus memberikan laporan pelaksanaan pro bono sebagai syarat memperpanjang izin praktik advokat.

 

Anggara Suwahju, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform mengusulkan hal yang sama dengan Asep. “Kalau mau menumbuhkan budaya justru yang harus didorong adalah penghargaan, insentif,” katanya kepada hukumonline.

 

Selain itu Anggara juga mengusulkan agar pelaksanaan pro bono dengan bantuan hukum dari pemerintah tidak dipisahkan. Menurutnya persoalan yang utama adalah tersedianya layanan akses kepada keadilan bagi masyarakat miskin.

 

“Kalau khawatir soal penyaluran dana pemerintah, bisa saja melalui organisasi advokat,” ujarnya. Anggara menyoroti pemisahan pro bono yang sama sekali tidak boleh menerima pendanaan pemerintah. Padahal besar pendanaan tersebut pun tidak seberapa.

 

Ia melihat akan jauh lebih efektif mendorong advokat melakukan bantuan hukum secara cuma-cuma jika ada dana bantuan yang bisa digunakan. Perlu diingat bahwa dalam menangani perkara tidak hanya ada komponen biaya honorarium namun juga berbagai keperluan akomodasi dan administrasi perkara. “Ada advokat yang bersedia tidak dibayar jasanya, tapi kesulitan untuk komponen biaya lainnya dalam perkara,” ujarnya.

 

Baca:

 

Pasal 22 UU Advokat memang menyebutkan kewajiban profesi ini untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (pro bono).  Ruang lingkup bantuan hukum tersebut diatur lebih lanjut dalam PP Bantuan Hukum Cuma-cuma.

 

Disebutkan bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.

 

Rancangan panduan panduan pro bono yang didiskusikan mengusulkan dua jenis pro bono berdasarkan pembebasan biaya. Pertama, aktivitas pro bono biasa yang membebaskan biaya jasa/honorarium advokat kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Namun untuk biaya lainnya yang timbul dalam penanganan perkara tidak ditanggung advokat yang melakukan pro bono.

 

Misalnya biaya transportasi dan biaya akomodasi, biaya administrasi perkara atau biaya sidang, dan biaya teknis dalam pelaksanaan pro bono di luar pengadilan bisa dibuktikan pembayarannya. Biaya ini dapat ditanggung sendiri oleh pencari keadilan atau diperoleh dari sumber lainnya seperti bantuan dari Organisasi Advokat.

 

Kedua, pro bono ekslusif yaitu advokat sanggup memberikan pendanaan penuh dalam melakukan pro bono. Bantuan hukum secara cuma-cuma yang diberikan advokat tidak hanya gratis honorarium atas jasa hukum. Pencari keadilan juga dibantu biaya operasional penanganan perkara dan biaya teknis lainnya.

 

Sayangnya rancangan panduan ini tidak menganggap bantuan dana dari firma hukum untuk keperluan pro bono sebagai salah satu bentuk pelaksanaan pro bono. Padahal, Anggara mengatakan bahwa menggalang dukungan dari kantor-kantor hukum untuk mendukung pelaksanaan pro bono sangat diperlukan. “Justru mendorong komitmen kantor hukum mempraktikkan bantuan hukum diperlukan,” ujarnya.

 

Hukumonline.com

Suasana Pro Bono FGD yang diselenggarakan The Asia Foundation dan Hukumonline, Selasa (9/7). Foto: HOL

 

Asep menjelaskan soal dukungan firma hukum tempatnya bekerja meskipun tanpa dihitung sebagai pro bono para advokat pemilik kantor. Assegaf Hamzah & Partners berkomitmen membiayai keperluan di luar biaya jasa yang dikeluarkan para advokat mereka dalam menjalankan pro bono.

 

“Bahkan waktu yang digunakan saat pro bono dihitung sebagai pemenuhan kewajiban jam kerja di kantor,” kata Asep. Sangat disayangkan bahwa bentuk dukungan semacam itu tidak menjadi perhatian untuk dianggap sebagai bentuk pro bono dari para advokat pemilik kantor-kantor hukum. Padahal, jika hal itu dihitung sebagai bentuk pro bono dapat mendorong kantor-kantor hukum lainnya melakukan hal serupa. Setidaknya bagi kalangan firma hukum besar yang sudah lebih besar dalam kekuatan dana dan jumlah advokatnya.

 

Catatan lain dalam rancangan panduan ini adalah tidak menghitung bantuan hukum oleh organisasi advokat sebagai pro bono. Artinya, pengurus organisasi advokat yang melakukan pembelaan atau penanganan perkara atas nama organisasi advokat tidak dihitung sedang melakukan pro bono.

 

Catatan hukumonline menunjukkan setidaknya telah ada 100 Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi) yang dibentuk di berbagai cabang seluruh Indonesia. Belum lama ini Ketua Umum Peradi Fauzie Yusuf Hasibuan meresmikan PBH Peradi Jakarta Pusat sebagai cabang ke-100 secara nasional.

Tags:

Berita Terkait