Perlu Ada Batasan Dalam Pemberian Dwi Kewarganegaraan
Berita

Perlu Ada Batasan Dalam Pemberian Dwi Kewarganegaraan

Batasan dwi kewarganegaraan diperlukan agar tidak terjadi tumpang tindih hak dan kewajiban warga negara.

CR-2
Bacaan 2 Menit
Perlu Ada Batasan Dalam Pemberian Dwi Kewarganegaraan
Hukumonline

 

Hal senada disampaikan Astuti Listianingrum dari LBH APIK. Ia menyatakan bahwa dwi kewarganegaraan bukan isu utama, karena yang diharapkan dari UU Kewarganegaraan adalah ibu WNI bisa memberikan kewarganegaraan bagi anaknya.

 

Permanent Residence

 

Pada kesempatan yang sama, dosen Politik Indonesia program Pascasarjana Universitas Indonesia Burhan Djabir Magenda menilai UU Kewarganegaraan saat ini hanya hitam putih, yaitu menjadi WNI atau tidak menjadi WNI. Kata dia, sebaiknya UU Kewarganegaraan memiliki beberapa warna, yaitu dengan memasukkan permanent residence dan dwi kewarganegaraan.

 

Perlu ada pasal pengecualian, khusus anak dari pasangan campuran. Yang dulu dikhawatirkan pemerintah yaitu stateless kan tidak ada lagi. Jadi dwi kewarganegaraan tidak menjadi masalah. Perlu ada klausul yang mengizinkan dwi kewarganegaraan, meskipun secara terbatas, imbuh Burhan.

 

Pengamat sosial Paulus Wirutomo menyatakan dwi kewarganegaraan di beberapa negara justru menjadi nilai positif yang dapat memajukan negara tersebut. Ia mencontohkan RRC dan India yang mempermudah warganya menjadi warga asing selama dapat memberikan keuntungan ekonomi.

 

Sekarang anak-anak Indonesia yang pandai diincar Singapura, mereka diberi beasiswa, dengan harapan nantinya akan bersedia menjadi warga Singapura. Sementara orang asing yang cinta Indonesia dan mau menjadi WNI justru dipersulit, tukas Paulus.

Demikian terungkap dalam lokakarya Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam RUU Kewarganegaraan yang diadakan Alida Centre di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (30/11). Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto menilai perlu ada batasan untuk pemberian dwi kewarganegaraan.

 

Ia menawarkan beberapa opsi dalam pemberian dwi kewarganegaraan, yaitu sepenuhnya dwi kewarganegaraan, dwi kewarganegaraan karena perkawinan, dwi kewarganegaraan sampai usia tertentu dan tidak ada dwi kewarganegaraan sama sekali.

 

Ia menyarankan dwi kewarganegaraan diberikan sampai anak dari pasangan campuran mencapai usia dewasa--apakah 17 tahun saat memiliki KTP, atau 21 tahun seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a UU No.62/1958 tentang Kewarganegaraan. Setelah itu, lanjutnya, anak bisa memilih kewarganegaraannya. Hal ini nantinya akan berhubungan dengan UU Administrasi Kependudukan. Oleh karena itu, Satya menekankan, perlu ada harmonisasi RUU Kewarganegaraan dengan UU dan peraturan lain.

 

Ia menekankan, semangat dari UU Kewarganegaraan sebenarnya adalah menghindari terjadinya kehilangan kewarganegaraan (stateless), terutama di daerah perbatasan. Dikatakannya, ada beberapa negara yang menerapkan wajib militer bagi warga negaranya. Padahal, Pasal 17 huruf f UU Kewarganegaraan menyatakan jika mengikuti dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Menteri Kehakiman maka otomatis kehilangan kewarganegaraan RI. Oleh karena itu, ia berpandangan, perlu ada ketegasan dalam UU Kewarganegaraan mengenai hak dan kewajiban pemegang dwi kewarganegaraan terhadap negara.

 

Ninasapti Triaswati, direktur ekonomi lembaga Insan Hitawasana Sejahtera menyatakan setuju jika usia 17-18 tahun menjadi batas dewasa bagi seorang anak sehingga dapat menentukan kewarganegaraannya. Ia menilai dwi kewarganegaraan bukanlah isu utama. Yang penting, tambahnya, keseriusan pemerintah melindungi warga negaranya perlu ditingkatkan lagi.

Tags: