Perlindungan-Pemenuhan HAM Diprediksi Masih Suram
Utama

Perlindungan-Pemenuhan HAM Diprediksi Masih Suram

Pemerintahan Jokowi periode 2014-2019 gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam periode kedua pemerintahan Jokowi (2019-2024) kebebasan berekspresi, berpendapat, dan penghormatan terhadap HAM masih terancam.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Foto: ilustrasi (Sgp)
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Foto: ilustrasi (Sgp)

Jelang berakhirnya masa jabatan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla banyak catatan yang menjadi perhatian organisasi masyarakat sipil yang fokus di bidang HAM. Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan Atnike Sigiro mencatat dalam 5 tahun terakhir belum ada pemajuan hak perempuan yang signifikan.

 

Meski dirinya mengapresiasi sejumlah UU yang mengakui posisi perempuan seperti UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Berikutnya Perubahan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang meningkatkan batas usia perkawinan perempuan dari 16 menjadi 19 tahun.

 

“Tapi secara umum dalam 5 tahun terakhir tidak ada yang baru soal kemajuan gender dan hak perempuan,” kata Atnike dalam diskusi di Jakarta, Kamis (17/10/2019). Baca Juga: 9 Agenda HAM Penting Usai Pemilu

 

Menurut Atnike, kebijakan hukum yang ada belum memadai, aparat hukum dan pemerintah belum memiliki perspektif keadilan gender. Terbukti dari sejumlah kasus hukum yang menimpa perempuan seperti BN (Baiq Nuril), seorang guru honorer yang menjadi korban pelecehan seksual, tapi malah divonis bersalah karena dianggap melakukan perekaman ilegal atas percakapan telepon dengan atasannya serta menyebarnya. BN kemudian mendapat amnesti dari Presiden Jokowi.

 

Banyak kasus serupa dimana perempuan yang menjadi korban, tapi malah terancam pidana. Kasus seperti ini menurut Atnike tidak akan terjadi jika aparat memiliki perspektif gender atau setidaknya menerapkan ketentuan yang diatur Peraturan MA No.3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

 

Melansir data Komnas Perempuan tahun 2019 menyebutkan ada lebih dari 400 ribu kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Melihat kondisi itu dia yakin dalam 5 tahun ke depan situasinya masih sama dimana perlindungan terhadap hak perempuan masih lemah. Indikasi itu dapat dilihat dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak disahkan sampai akhir masa jabatan DPR dan pemerintah periode 2014-2019.

 

Program Officer Divisi Advokasi, Riset, dan Kampanye Yappika, Riza Imaduddin menilai kebebasan sipil di Indonesia dalam 5 tahun ke depan semakin kelam. Hal ini dipertegas hasil penilaian Freedom House Index terhadap kebebasan di Indonesia tahun 2018 turun dari 64 menjadi 62 dan masuk kategori partly free. Sedikitnya ada 4 hal yang mempengaruhi penurunan indeks kebebasan ini. Pertama, maraknya pembubaran, intimidasi pertemuan atau diskusi yang membahas topik tragedi 1965 dan isu separatis.

 

Kedua, UU No.16 Tahun 2017 tentang Ormas mewajibkan organisasi masyarakat sipil mendaftar dan membatasi kegiatan. Pemerintah juga dapat membubarkan suatu organisasi tanpa proses pengadilan. Ketiga, kelompok minoritas terus menerus mengalami pelecehan dan intimidasi. Keempat, kriminalisasi terhadap aktivis HAM dan lingkungan hidup terus berlanjut.

 

“Kebebasan sipil 5 tahun ke depan makin kelam. Negara harus mengubah cara pandang terhadap masyarakat sipil,” pintanya.

 

Perlindungan Data Pribadi

Peneliti Elsam Miftah Fadhli mengingatkan pemerintah dan DPR periode 2014-2019 sampai akhir masa jabatannya tidak merampungkan RUU Perlindungan Data Pribadi. Padahal saat ini lebih dari 100 negara sudah memiliki regulasi perlindungan data pribadi untuk melindungi hak atas privasi warga negaranya. Hal ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2019 yang intinya menyebut data pribadi harus dilindungi dan regulasinya harus disiapkan tanpa kompromi.

 

Ketentuan yang berkaitan dengan data pribadi saat ini tersebar dalam sejumlah regulasi seperti PP NO.82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Menteri Kominfo No.20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Menurut Fadhli, tersebarnya regulasi perlindungan pribadi membuat pengaturannya saling tumpang tindih.

 

UU Perlindungan Data Pribadi sangat penting karena banyak kasus bocornya data pribadi dan disalahgunakan. Fadhli mencontohkan aplikasi pinjaman daring menggunakan data pribadi penggunanya untuk mengintimidasi agar pengguna layanan segera melunasi pinjaman. Alih-alih menerbitkan peraturan yang memperkuat perlindungan data pribadi, pemerintah dan DPR malah mempercepat pengesahan UU Keamanan dan Ketahanan Siber pada akhir September 2019.

 

RUU ini memberi kewenangan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk mengawasi lalu lintas data internet di Indonesia. Tapi RUU itu tidak mengatur mekanisme pengawasan yang jelas terkait pelaksanaan wewenang tersebut. “Ketentuan ini rentan disalahgunakan oleh negara sebagai alat mata-mata massal terhadap warga negara Indonesia (sendiri),” tuturnya.

 

Ingkar janji

Deputi Koordinator KontraS, Feri Kusuma, mencatat dalam 5 tahun pemerintahan Jokowi-JK tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang tuntas. Berbeda dengan janji yang tertuang dalam Nawacita dimana berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan dituntaskan secara berkeadilan. “Presiden Jokowi ingkar janji dan gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat,” tegasnya.

 

Feri mengusulkan agar Presiden Jokowi memilih Jaksa Agung yang mau menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM berat. Mengulang pernyataan yang pernah diucapkan Presiden Jokowi, Feri menyebut kasus pelanggaran HAM berat merupakan beban sosial dan politik bangsa.

Tags:

Berita Terkait