Meskipun pelaku usaha ada di wilayah negara lain, bukan tidak mungkin konsumen yang di Indonesia menuntut dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. "Sudah tidak relevan lagi jika kita menggunakan teori mailbox", ujar Edmon.
Dijamin haknya
Selama ini, banyak situs e-commerce yang memberikan informasi yang tidak jelas. Padahal di dalam UU No. 8 tahun 1999, jelas-jelas dinyatakan bahwa: "Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan, suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah dalam keadaan tertentu". Bila melihat rumusan tersebut, konsumen telah dijamin haknya oleh UU No. 8 tahun 1999 tersebut.
Pelaku usaha bertanggungjawab atas segala hal yang berkaitan dengan informasi yang ada di halaman web. Terutama, dalam memberikan informasi yang sebenar-benarnya dan sebebas-bebasnya pada konsumen.
Jika dalam penyelenggaraan suatu situs bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerd, mengenai syarat sahnya perjanjian, Edmon berpendapat bahwa konsumen dapat menolak perjanjian atau transaksi yang ditawarkan oleh penyelenggara.
Edmon menambahkan, yang jadi masalah selama ini adalah belum ada kemauan dari penegak hukum untuk menegakkan hukum, khususnya hukum perlindungan konsumen itu sendiri. Selain itu, juga belum adanya keinginan untuk menggunakan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.
Jaminan sistem
"Jika terjadi suatu sengketa e-commerce, jangan diserahkan kepada pelaku usaha," kata Edmon. Dalam keadaan demikian, menurut Edmon, pelaku usaha pasti akan berkelit bahwa usaha yang dilakukan telah sesuai standar yang berlaku.
Edmon mengingatkan bahwa nantinya sebelum bertransaksi, konsumen harus benar-benar memperoleh jaminan dari sebuah situs penyelenggara jasa e-commerce.