Perlindungan Hukum Kekerasan Terhadap Hewan Perspektif Hukum Pidana
Kolom

Perlindungan Hukum Kekerasan Terhadap Hewan Perspektif Hukum Pidana

Larangan melakukan kekerasan pada hewan diatur dalam UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, juga diatur dalam KUHP.

Bacaan 5 Menit
Yunazzil Rahmat Furqan Yasin. Foto: Istimewa
Yunazzil Rahmat Furqan Yasin. Foto: Istimewa

Kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik. Adapun kekerasan atau penganiayaan terhadap hewan adalah kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap hewan untuk tujuan selain perlindungan diri.

Kekerasan yang dilakukan manusia terhadap hewan bisa menimbulkan dampak yang negatif, tidak hanya pada hewan namum juga bisa berdampak buruk bagi lingkungan masyarakat. Karena tindakan kekerasan yang terkesan dibiarkan dapat menjadi suatu kebiasaan yang dapat menumbuhkan sisi psikopat pada manusia, sehingga dampak buruknya tidak hanya terhadap hewan saja, tetapi bisa berdampak buruk ke sesama manusia, seperti memungkinkan terjadinya suatu penganiayaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.

Di Indonesia, kekerasan terhadap hewan kerap terjadi pada lingkungan masyarakat, hal ini didasarkan akibat kurangnya pemahaman masyarakat terkait kesejahteraan hewan dengan menganggap bahwa hewan adalah objek yang dapat diperlakukan semena-mena. Kekerasan pada hewan masih sering dianggap sepele, padahal dalam ketentuan hukum positif di Indonesia, hewan adalah makhluk hidup yang diakui dan dijamin hak hidup maupun kesejahteraannya.

Baca juga:

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 sebagaimana perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, menyebutkan bahwa: “Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang di habitatnya”. Sedangkan pada Pasal 1 angka 4 UU a quo disebutkan; “Hewan Peliharaan adalah Hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu”.

Larangan melakukan kekerasan pada hewan juga ditegaskan dalam Pasal 302 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana menghantui bagi pelaku penganiayaan terhadap hewan, jika ringan dipidana penjara paling lama tiga bulan, sedangkan jika menyebabkan hewan tersebut sakit lebih dari seminggu dipidana paling lama Sembilan bulan penjara.

Pembuktian adanya unsur kehendak pelaku dalam melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 302 KUHP harus dapat membuktikan tentang:

  1. adanya kehendak pelaku untuk menimbulkan rasa sakit
  2. adanya kehendak pelaku untuk menimbulkan luka
  3. adanya kehendak pelaku untuk merugikan kesehatan hewan
  4. adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatannya itu telah ditujukan pada seekor binatang.

Selain Pasal 302 KUHP, dalam KUHP khususnya Pasal 540 juga terdapat klausul yang melarang perlakuan terhadap hewan. Mulai dari mempekerjakan hewan di luar batas kemampuan hewan tersebut, pekerjaan yang menyikksa atau menyakiti hewan, dapat juga dipidana.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul KitabUndang-Undang Hukum Pidana (KUHP), memandang bahwa makna pasal 302 KUHP, menjelaskan yang dimaksud dalam ayat (1) ialah kejahatan penganiayaan ringan pada binatang. Untuk itu harus dibuktikan bahwa orang itu sengaja menyakiti, melukai, atau merusakkan kesehatan binatang dan perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. Selain itu, terdapat kesengajaan tidak memberi makan atau minum kepada binatang; binatang itu sama sekali atau sebagian menjadi kepunyaan orang itu atau di dalam penjagaannya atau harus dipeliharanya; serta perbuatan itu dilakukan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan.

Sedangkan mengenai makna dalam pasal 540 KUHP, R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa menyuruh hewan (Kuda, Sapi, Kerbau, dsb.) menarik gerobak, delman atau cikar dengan beban yang beratnya melampaui batas kekuatan atau kemampuan hewan tersebut, sehingga hampir tidak mampu atau tidak susah payah melakukannya.

Selain itu memakai cambuk berduri dsb, agar supaya kuda tersebut dapat berlalu dengan kencang sesuai yang diharapkan. Pada masyarakat Indonesia banyak terjadi pada para kusir, cikar atau gerobak yang terus mengerjakan kuda atau sapinya yang pincang, luka, lecet, berkudis, bunting, atau menyusui anaknya. Hal ini patut mendapat perhatian guna menjaga kesehatan hewan-hewan tersebut.

Kemudian, membawa ayam dengan diikat kakinya dengan erat dan digantung, membawa sapi atau kambing di truk atau kereta api dengan diikat kakinya. Lalu, membawa ayam, itik, kuda, sapi, dsb, tidak dengan diberi makanan atau minuman yang diperlukan untuk kehidupan hewan tersebut.

Selain KUHP, perlindungan atas tindak kekerasan yang dilakukan terhadap hewan juga terdapat di dalam Pasal 66A UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang intinya, setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Jika ada yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang.

Pasal 68 UU Peternakan dan Kesehatan Hewan juga memberikan himbauan kepada pemerintah agar menyelenggarakan kegiatan yang menyeluruh demi menjamin kesejahteraan dan kesehatan hewan. Upaya menyelenggarakan kesehatan hewan sebagaimana yang dimaksud dalam UU tersebut juga tidak terlepas pada kesejahteraan hewan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan.

Terdapat lima asas kesejahteraan hewan yang perlu diperhatikan:

  1. Bebas dari rasa lapar dan kekurangan gizi;
  2. Bebas dari ketidaknyamanan;
  3. Bebas dari rasa luka dan penyakit;
  4. Bebas dari rasa taju dan tertekan;
  5. Bebas untuk mengekspesikan pola perilaku normal.

Pada Pasal 91B UU Peternakan dan Kesehatan Hewan juga menyebut pemberian sanksi bagi pelaku yang terbukti menganiaya hewan sehingga mengakibatkan cacat/tidak produktif. Meskipun begitu, Pasal 91B UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tidak menjelaskan secara spesifik mengenai hewan apa yang dilindungi. Namun jika merujuk pada Pasal 1 angka 3 UU a quo, bahwa hewan merupakan binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air dan/atau udara, baik yang dipelihara atau yang berada di habitatnya.

Adapun lahirnya Undang-Undang ini merupakan instrumen yang dapat dijadikan sebagai aturan yang sifatnya melindungi hewan dan kesehatan hewan, sedangkan ratio legis dalam merealisasikan peraturan hukum ini adalah untuk meminimalisir kejahatan yang terjadi, meskipun dalam hal ini kejahatan terhadap hewan yang merupakan objek hukum dan bukan subjek hukum.

Perlindungan terhadap hewan membuktikan bahwa hewan juga memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik. Meskipun hak yang dimiliki lebih terbatas, namun Undang-Undang menjamin agar hewan dijauhkan dari segala jenis kekerasaan maupun penganiayaan. Hal tersebut sesuai berdasarkan Putusan Majelis Hakim nomor: 233/Pid.B/2019/PN.Gin, sebagaimana amar putusan yang menetapkan bahwa Terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan penganiayaan terhadap hewan hingga mati dan dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) bulan, karena telah memenuhi unsur dakwaan pada Pasal 302 KUHP.

Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan. Sebagaimana hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.

*)Yunazzil Rahmat Furqan Yasin, S.H., adalah Paralegal LBH Kendari.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait