Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN, Sudahkah Terpenuhi?
Kolom

Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN, Sudahkah Terpenuhi?

Perlu kerja sama setiap negara untuk menjamin pelaksanaan HAM di negaranya dan bersama-sama melakukan gerakan anti pelanggaran HAM.

Bacaan 8 Menit

Bahkan, Ran Hirscl dalam artikelnya berjudul Comparative Constitutional Law and Religion mengemukakan bahwa salah satu unsur yang dapat menstabilkan negara adalah agama. Hirscl membagi model negara dalam kaitannya dengan agama ke dalam delapan model, yaitu the Atheist State, Assertive Secularims, Separation as State Neutrality toward Religion, Weak Religious Establishment, Formal Separation with De Facto Pre-eminence of One Denomination, Separation Alongside Multikultural Accommodation, Religious Jurisdictional Enclaves dan Strong Establishment- Religion as a Constitutionally Enshrined Source of Legitslation.

Hirscl menemukan ada negara yang menjadikan agama sebagai sumber hukum dan perilaku masyarakatnya yang dituangkan ke dalam konstitusi bahkan dijadikan sebagai unsur yang menstabilkan pemerintahan yang terlihat dari negara yang menjadikan agama sebagai syarat dalam pembentukan pemerintahan.

Pelanggaran HAM Indonesia dari Masa ke Masa

Dilihat dari sejarahnya, Indonesia sudah menyumbang banyak kasus-kasus pelangaran HAM, mulai dari yang kasat mata hingga yang sangat tertutupi bahkan “tak tercium”. Pelanggaran yang kasat mata seperti yang dipaparkan oleh Lembaga Kontras dalam catatan kelam 20 tahun reformasi (Kompas, Juni 2018) yaitu Tragedi 1965; Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Talangsari di Lampung (1989); Kasus Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998); Kerusuhan Mei 1998; Penembakan Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (1998-1999); serta Kasus Wasior dan Wamena di Papua (2000). Bahkan di tahun 2022 terjadi peristiwa kanjuruhan yang juga dinilai menjadi bentuk pelanggaran HAM berat karena menewaskan ratusan orang.

Sementara pelanggaran HAM yang tidak begitu terekspos seperti perampasan hak atas tanah masyarakat adat, pembunuhan terhadap pembela HAM lingkungan, perusakan lahan hijau dan illegal logging yang menyebabkan berkurangnya wilayah yang menjadi paru-paru dunia di Indonesia. Belum lagi jika menelisik banyaknya perilaku korupsi yang dilakukan oleh pejabat baik kelas kakap ataupun kelas teri. Data yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2018 memperlihatkan bahwa ada 104 kepala daerah yang melakukan korupsi (dihitung sejak tahun 2004).

Begitu banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di negara ini menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Padahal, dilihat dari jumlah penduduknya, Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan penduduk mayoritas Islam berdasarkan The Pew Forum on Religion & Public Life pada 2010 yang dipublikasikan oleh Republika pada 27 Mei 2015. Bahkan Indonesia menempati urutan pertama di atas Pakistan, India, Bangladesh, Mesir, Nigeria, Iran, Turki, Algeria dan Maroko. Hal ini menjadi sebuah kelebihan yang harus cepat disadari sebelum kelebihan ini menjadi kelemahan bagi Indonesia.

Sebagai sebuah negara dengan mayoritas muslim, Indonesia seharusnya menjadi negara yang paling aman dan nyaman untuk ditinggali. Mengapa demikian? Ada satu bukti nyata perdamaian yang sudah dilakukan oleh Rasulullah sebagai panutan umat muslim yaitu dibuatnya PIAGAM MADINAH yang menjadi konstitusi pertama di dunia yang berisikan amanat perdamaian bagi Islam, Yahudi dan Nasrani pada masa itu. Piagam ini memperlihatkan bahwa Islam memberikan ajaran yang melindungi setiap hak warga negaranya tanpa terkecuali dengan perlindungan yang sama tanpa pembedatan dengan syarat tidak melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara lainnya.

Selain itu, piagam ini juga memperlihatkan bahwa Islam mengamanatkan adanya tanggung jawab dari setiap individu untuk menjaga perdamaian dan maupun kesatuan dari adanya gangguan pihak luar yang melakukan kekacauan dan kerusuhan maupun kejahatan. Tentunya, hal ini harus menjadi panutan bagi setiap muslim bahwa nyawa setiap insan tidak boleh dirampas paksa dan tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan baik dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini senada dengan aturan di dalam UDHR mengenai larangan untuk menindas dan merampas hak orang lain secara paksa.

Tags:

Berita Terkait