Perkuat Regulasi Jadi Jurus Khusus Atasi Asap
Berita

Perkuat Regulasi Jadi Jurus Khusus Atasi Asap

Mulai evaluasi kinerja kementerian, persiapan menghadapi musim panas hingga koordinasi dengan pemerintah daerah serta sejumlah instrumen lembaga.

RFQ/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: dephut.go.id
Foto: dephut.go.id

Kebakaran hutan di wilayah Kalimantan dan Sumatera belum terselesaikan. Udara yang dihirup masyarakat di sekitar wilayah tersebut tercemar akibat asap. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Subagyo berpandangan, meski lamban mengatasi kebakaran hutan, pemerintah tidak bisa langsung disalahkan.

Bencana kebakaran hutan menjadi persoalan serius. Itu sebabnya, diperlukan instrumen yang terintegrasi dalam rangka mengatasi terjadinya kebakaran hutan berujung tercemarnya udara oleh asap. “Memang boleh dibilang (pemerintah) sangat lamban untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran,” ujarnya.

Penyebab kebakaran hutan tak saja terjadi karena faktor panasnya cuaca, namun juga disebabkan faktor kesengajaan oleh pihak tidak bertanggungjawab. Pemerintah pusat dan daerah semestiny lebih tanggap dengan mengedepankan pencegahan dini.

Pola pembakaran hutan melalui cara konvensional lebih menguntungkan bagi perusahaan yang akan membuka lahan perkebunan. Pasalnya dengan membakar hutan berbiaya murah untuk membuka lahan ketimbang menggunakan mekanisme penebangan.

Anggota Komisi IV itu berpandangan, langkah strategis khusus yang mesti dilakukan pemerintah dengan melakukan evaluasi terhadap bencana kebakaran hutan yang acapkali terjadi tiap tahunnya. Tak hanya itu, kinerja pemerintah di bidang kehutanan dan lingkungan hidup mesti menjadi catatan. Pasalnya acapkali terjadi kebakaran hutan, upaya yang dilakukan hanyalah pemadaman api. Padahal upaya pencegahan terhadap terjadinya kebakaran hutan  jauh lebih penting ketimbang pemadaman api.

Selain itu, perlunya penguatan koordinasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Termasuk dengan instrumen lembaga lagi seperti Badan Nasiona Penanggulangan l Bencana (BNPB). Hal lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan revisi terhadap sejumlah regulasi yang tumpang tindih.

“Kemudian di lapangan lembaga itu diminta membentuk Satuan Tugas (Satgas) dari tingkat pusat sampai daerah dan didukung dengan sarana dan prasarana perlengkapan sistem supaya hot spot-hot spot itu dilengkapi dengan satelit,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu berpandangan dalam rangka penguatan aturan, sejumlah UU yang perlu direvisi antara lain UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Selain itu UU No.32 Tahun 2007 tentang Lingkungan Hidup dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H).

“Kemudian tentunya pemerintah segera melaksanakan amanat UU No.18 Tahun 2013 untuk membentuk satu kelembagaan dan setidaknya lembaga itu bisa meminimalisir. Di sisi lain harus diberikan anggaran yang kuat, karena tanpa adanya satu lembaga yang khusus menangani kebakaran ini aan sulit,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron menambahkan, Presiden mesti mengambil alih sepenuhnya bencana kebakaran hutan yang berujung kabut asap. Pemerintah pun mesti menetapkan bencana nasional. Dengan begitu seluruh potensi pemadaman  titik api dapat dilakukan secara bersama-sama.

“Yang paling penting rakyat segera terbebas dari segala persoalannya, tidak bisa sekolah dan mencari nafkah,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu berpandangan regulasi yang sudah ada seperti UU Perkebunan dan UU Kehutanan sudah tegas melarang adanya pembakaran hutan. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum mestinya tak ada lagi keraguan menindak siapapun pelaku pembakar hutan tanpa pandang bulu.

“Jangan ada lagi keraguan menindak siapapun pelaku pembakar hutan yang menyebabkan kerugian pada rakyat banyak, hukuman harus berat,” pungkasnya.

Perberat Sanksi

Sementara itu, Deputi Bidang Kebencanaan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Wisnu Widjaja, berpendapat sanksi bagi pelaku pembakar hutan atau lahan gambut sebaiknya ditingkatkan sesuai dengan tingginya kerugian negara. Hal ini penting untuk memberikan efek jera.

Dia mengatakan, sesuai UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam Pasal 50 Huruf D disebutkan bahwa setiap orang dilarang membakar hutan dengan alasan apapun. Namun, pada Pasal 78 disebutkan para pembakar hutan hanya dikenai denda maksimal Rp5 miliar, dengan kurungan penjara 15 tahun.

"Hukuman itu tentu sangat ringan, denda Rp5 miliar tidak setara dengan dampak kerugian yang bisa mencapai triliunan rupiah," ujarnya.

Apalagi, lanjut Wisnu, dampak kabut asap yang ditimbulkan juga cukup luas mengganggu aktivitas serta kesehatan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Menurutnya, upaya peningkatan sanksi wajar dilakukan, sebab peristiwa pembakaran hutan atau lahan gambut untuk kepentingan pembukaan lahan sudah berulang kali terjadi baik di Sumatera maupun Kalimantan.

Ketua Pokja Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Prof. Azwar Maas mengatakan, selain meningkatkan sanksi bagi para pembakar hutan, pemerintah juga perlu memasukan bencana kebakaran lahan gambut yang saat ini terjadi di berbagai wilayah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, serta Kalimantan Tengah, Selatan dan Barat dalam katagori bencana nasional.

"Saya melihat ini kerugiannya sudah sangat besar. Dulu Merapi itu kan lingkupnya sangat kecil, namun sudah disebut bencana nasional, sementara ini yang lingkupnya lebih luas tidak disebut bencana nasional," kata Azwar.

Tags:

Berita Terkait