Perkuat Bukti, Penggunaan UU ITE Diperkenankan
Berita

Perkuat Bukti, Penggunaan UU ITE Diperkenankan

Sekalipun dalam UU Pemberantasan Tipikor, sudah dibuka penggunaan alat bukti elektronik.

FAT
Bacaan 2 Menit

Dalam putusannya, majelis menyatakan Angie terbukti melanggar Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor karena telah menerima fee dari Permai Grup melalui Mindo Rosalina Manullang sebesar Rp2,5 miliar dan AS$1,3 juta terkait pengurusan anggaran proyek di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Karenanya, Angie dihukum empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan.

Memang, vonis ini jauh dari tuntutan penuntut umum KPK. Jauhnya lamanya hukuman lantaran pasal yang dijerat majelis berbeda dengan tuntutan KPK. Pada Pasal 11, ancaman pidananya maksimal lima tahun penjara, sedangkan pada tuntutan jaksa yang mengancam Pasall 12 huruf a ancaman maksimalnya 20 tahun penjara. Atas dasar itu, jaksa menuntut majelis agar Angie dihukum selama 12 tahun dan dikenakan pembayaran uang pengganti sebesar Rp12,5 miliar dan AS$2,3 juta.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya Adami Chazawi setuju penggunaan UU ITE dalam analisa yuridis sebuah putusan. Sepanjang penggunaan pasal tersebut untuk memperkuat keyakinan majelis dalam membuktikan keterlibatan terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang didakwakan.

Namun, kata Adami, di UU Pemberantasan Korupsi sudah mengatur dokumen elektronik sebagai alat bukti. “Itu dibolehkan. Sebetulnya dalam membuktikan namanya alat bukti petunjuk, dirangkai untuk menjadi sesuatu yang utuh,” ujarnya di Jakarta, Selasa (15/13).

Pasal yang dimaksud Adami adalah Pasal 26 A UU Pemberantasan Korupsi. Tertulis, alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu.

Pada Pasal 26 B disebutkan bahwa dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki.

Sementara itu, penasihat hukum Angie, Teuku Nasrullah menilai pembuktian yang didasarkan dengan transkrip percakapan BBM belumlah kuat. Menurutnya, pembuktian seperti itu baru satu alat bukti. Padahal, dalam sebuah pembuktian minimal harus terdapat dua alat bukti.

Untuk transkrip BBM, Nasrullah juga belum yakin tingkat validitasnya. Menurutnya, transkrip yang diambil dari sebuah memory card tersebut masih terdapat kemungkinan tak sesuai dengan aslinya. “Kemungkinan ada proses editing itu bisa saja. Setiap bukti di pengadilan harus bisa dijamin tingkat kebenarannya,” ujar Nasrullah saat dihubungi hukumonline, Jumat (18/13).

Dari fakta persidangan, Nasrullah mencontohkan, supir Permai Grup, Dadang mengaku menyerahkan uang ke seseorang yang bernama Jefry. Namun, saat dihadirkan di pengadilan, Jefry membantah hal tersebut. Otomatis dengan begitu ada kesaksian yang terputus di perkara Angie.

Jika tidak ada kesaksian, setidaknya ada bukti yang lain, seperti uang suap, rekening dan tanda terima pemberian uang seperti kuitansi. Namun, di perkara kliennya ini rangkaian pembuktian seperti itu terputus. Ia berharap, di tingkat banding, Angie dapat divonis bebas.

Tags:

Berita Terkait