Perketat Importasi Produk Ban, Kemendag Terbitkan Aturan Baru
Berita

Perketat Importasi Produk Ban, Kemendag Terbitkan Aturan Baru

Permendag baru ini dikeluarkan sebagai upaya meningkatkan efektivitas kebijakan impor ban, terutama untuk memperketat dan mencegah impor berlebihan produk ban.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Permendag No. 77/MDAG/PER/11/2016 Tentang Ketentuan Impor Ban. Sebelumnya, Permendag No. 77 Tahun 2016 telah mengalami perubahan pertama dengan diterbitkannya Permendag No. 6 Tahun 2018 dan perubahan kedua dengan Permendag No. 117 Tahun 2018.

 

“Kebijakan ini adalah salah satu upaya pemerintah dalam mengawasi importasi produk ban. Dengan adanya kebijakan ini, lalu lintas impor bisa lebih ketat dan terukur melalui pusat logistik berikat (PLB), sehingga bisa mencegah terjadinya lonjakan impor,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan, Senin (25/2).

 

Oke menjelaskan, pada Permendag No. 5 Tahun 2019 ditetapkan bahwa importasi ban oleh perusahaan pemilik nomor induk berusaha (NIB) yang berlaku sebagai angka pengenal importir produsen (API-P), dapat dilakukan dari negara asal atau melalui pusat logistik berikat (PLB). Sedangkan, pemilik NIB yang berlaku sebagai angka pengenal importir umum (API-U) hanya dapat mengimpor melalui PLB.

 

Oke menggarisbawahi, ketentuan ini hanya akan berlaku bagi impor ban yang tiba di pelabuhan tujuan setelah 1 Maret 2019 yang dibuktikan dengan dokumen pabean berupa manifest (B.C 1.1). “Diharapkan, ketentuan ini dapat menekan lonjakan impor ban. Kemendag terus berkomitmen mendorong pembangunan industri, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan meningkatkan daya saing produk ban nasional,” lanjut Oke.

 

Selain itu, guna meningkatkan daya saing ban nasional, pemerintah juga meminimalisasi dokumen prasyarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan perpanjangan masa berlaku persetujuan impor, yaitu cukup melampirkan hasil pindai dokumen asli persetujuan impor dan bill of lading (B/L).

 

Sebelumnya seperti diatur dalam Permendag No. 117 Tahun 2018 Pasal 8 ayat 2, perusahaan juga diwajibkan melampirkan hasil pindai dokumen manifest (B.C 1.1). Setalah permohonan diterima dengan benar dan lengkap secara elektronik, masa berlaku perpanjangan persetujuan impor akan diterbitkan paling lama dalam tiga hari.

 

“Pengajuan perpanjangan persetujuan impor sudah menggunakan tanda tangan elektronik yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah, serta mencantumkan kode QR. Ini membuktikan komitmen pemerintah untuk mewujudkan efisiensi birokrasi perizinan dan mencegah terjadinya kolusi,” jelas Oke.

 

Sementara itu, dokumen yang diperlukan untuk proses verifikasi atau penelusuran teknis di pelabuhan muat atau PLB, paling sedikit harus memuat persetujuan impor dan kesesuaian sertifikat produk penggunaan tanda standar nasional Indonesia (SPPT SNI).

 

Hasil verifikasi kemudian dituangkan dalam bentuk laporan surveyor (LS) dan menjadi tanggung jawab surveyor. Oke juga menyampaikan, terkait dengan sanksi administratif kewajiban pelaporan impor, Permendag No. 5 Tahun 2019 mengatur perusahaan pemegang persetujuan impor yang tidak menyampaikan laporan dikenai sanksi berupa pembekuan persetujuan impor.

 

Sebelumnya, sanksi pelanggaran kewajiban pelaporan impor hanya berupa penangguhan permohonan persetujuan impor periode berikutnya. “Pembekuan persetujuan impor tersebut dapat diaktifkan kembali jika perusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan impor ban dalam jangka waktu sebulan sejak tanggal pembekuan,” kata Oke.

 

Adapun bagi perusahaan yang dikenai sanksi pencabutan persetujuan impor, lanjut Oke, Permendag No. 5 Tahun 2019 menetapkan perusahaan dapat mengajukan kembali permohonan persetujuan impor berikutnya paling singkat setahun sejak tanggal pencabutan. Permendag No. 5 Tahun 2019 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan pada 1 Februari 2019.

 

(Baca Juga: Konsumen Cerdas Paham Regulasi, Berorientasi Produk dalam Negeri)

 

Sebelumnya, kalangan pengusaha mengaku keberatan dengan kebijakan pengetatan impor ban karena dinilai akan menyulitkan industri strategis seperti transportasi, pertambangan, perkebunan, hingga pelabuhan. 

 

Seperti dilansir Antara beberapa waktu lalu, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Otobus Indonesia (IPOMI), Kurnia Lesani Adnan, mengatakan selain menciptakan kelangkaan ban kebijakan pengetatan juga membuat membuat bisnis mereka semakin tidak efisien. 

 

Menurut Kurnia, harga ban yang dibutuhkan sudah naik antara 7-12 persen sejak bulan lalu dan bahkan, kini sudah banyak pelaku usaha melakukan kanibalisasi untuk tetap beroperasi.  Kurnia menjelaskan kenaikan harga ban juga turut meningkatkan biaya operasional dan anggota IPOMI setidaknya membutuhkan 100.000 unit ban per tahun. 


“Padahal, berbagai persoalan ekonomi seperti ketatnya persaingan dengan transportasi udara saat ini telah membuat faktor muatan (load factor) mereka turun hingga 60 persen,” katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait