Perkembangan HKI Terhambat Sifat Komunal Masyarakat
Berita

Perkembangan HKI Terhambat Sifat Komunal Masyarakat

Sifat masyarakat Indonesia komunal, sementara HKI bersifat privat atau individual.

Dny
Bacaan 2 Menit
Perkembangan HKI Terhambat Sifat Komunal Masyarakat
Hukumonline

Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) sudah menjadi bagian dari hukum positif negara kita. Indonesia memiliki berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap HKI. Bahkan, HKI telah menjadi persoalan penting sehingga penanganannya dijalankan negara, melalui Direktur Jenderal di Kementerian Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Berbagai sosialisasi telah dilakukan baik oleh Dirjen HKI maupun pihak-pihak lainnya untuk menanamkan pentingnya HKI kepada masyarakat.

 

Cuma, di mata Kepala Subdit Kerjasama Internasional Ditjen HKI, Dede Mia Yusanti, membangun kesadaran seluruh lapisan masyarakat terhadap HKI masih menjadi tantangan hingga kini. Dede mengambil paten sebagai contoh. Dari tahun ke tahun jumlah pendaftar paten tidak mengalami peningkatan signifikan. Total pendaftar paten tahun 2001 sudah mencapai 4.147 pendaftar. Di tahun 2007, jumlahnya tidak berubah secara signifikan, yaitu menjadi 4.446. Itu berarti dalam waktu enam tahun, jumlah pendaftar paten tak sampai lima ratus orang di seluruh Indonesia.

 

Menurut Dede, membuat masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya HKI agaknya sulit. Mengapa? Sifat masyarakat Indonesia pada umumnya komunal, sementara konsep HKI bersifat privat atau individual. Sehingga, permasalahan kesadaran masyarakat merupakan masalah budaya yang sudah mengakar. Persoalan budaya ini, turut berpengaruh pada persoalan penegakan hukum. Apabila budaya HKI sudah mengakar, Dede yakin masyarakat secara otomatis tidak akan membeli barang bajakan. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai model. Kerjasama dengan lembaga masyarakat juga diperkuat. Namun, ketertarikan dan antusiasme masyarakat belum terlalu tinggi.

 

Saat ini, rezim yang berlaku di trade related aspects of intellectual property rights (TRIPS) adalah kekayaan intelektual yang sifatnya individual. Karenanya, muncul wacana untuk memberikan perlindungan terhadap HKI yang sifatnya komunal, seperti indikasi geografis, maupun kekayaan intelektual yang terkait ekspresi budaya tradisional.

 

Dede menerangkan wacana ini lebih banyak muncul dari negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang ingin HKI yang bersifat komunal mendapatkan perlindungan dan pegaturan seperti HKI yang sudah ada sekarang. Namun, isu perlindungan HKI komunal masih mendapatkan pertentangan dari negara-negara maju.

 

Di Indonesia, Dirjen HKI tengah mendorong Rancangan Undang-undang Pengetahuan Budaya dan Ekspresi Budaya Tradisional. RUU ini sudah masuk ke Program Legislasi Nasional. Sayangnya, ungkap Dede, belum masuk ke daftar prioritas.

 

Sementar itu, Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI), Justisiari P Kusumah mengakui kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya HKI. Namun, dia membantah bahwa persoalannya ada di sifat masyarakat yang komunal. “Budaya komunal Indonesia jangan dibenturkan dengan HKI,” tukasnya.

 

Menurut dia, meskipun HKI bersifat individual, HK merupakan hak. Artinya, siapapun yang memiliki karya intelektual bisa memilih akan untuk mendapatkan perlindungan terhadap karya intelektualnya atau tidak. “(HKI-red) Itu kan hak. Kalau mau hak tersebut digunakan, monggo, tidak juga tidak apa-apa,” terangnya.

 

Justisiari merasa masalah sebenarnya terletak pada sosialisasi. “Saya melihatnya ini lebih kepada mungkin sosialisasi saja yang belum terlalu baik,” ungkapnya.

Tags: