Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech
Waspada Fintech ilegal

Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech

Di tengah perkembangan yang pesat, ada beragam persoalan hukum di industri fintech. Masyarakat jangan terbuai dengan kemudahan dalam mendapatkan pinjaman, tapi perlu diperhatikan juga risiko hukum yang mungkin timbul.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Perkembangan teknologi sangat terasa dan sulit terbendung di kehidupan sehari-hari. Bisa dibilang, segala kegiatan yang dilakukan masyarakat selalu berhubungan dengan teknologi, tak terkecuali di sektor jasa keuangan. Jika dahulu aktivitas pinjam meminjam uang hanya bisa dilakukan di Bank, saat ini setiap orang dapat melakukan pinjaman dengan mudah melalui aplikasi berbasis online atau biasa disebut financial technology (fintech).

 

Hanya dengan mendownload aplikasi fintech yang ada di telepon genggam, masyarakat dapat bertranskasi dengan mudah tanpa harus pergi atau menghabiskan waktu ke bank untuk meminjam uang.

 

Kemajuan teknologi yang sudah mengubah perilaku dan kepercayaan orang di sektor jasa keuangan bisa dimaklumi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, 40 persen masyarakat Indonesia belum mempunyai rekening. Pinjaman formal yang dilakukan melalui perbankan membutuhkan jaminan, ada prosedur, dan membutuhkan waktu yang lama. Model proses transaksi seperti ini jelas berbeda dengan fintech yang terlihat sederhana.

 

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan demografi penduduk yang tersebar di berbagai pelosok, jelas menjadi pasar bagi industri fintech. Indonesia memiliki modal besar untuk mendukung perkembangan fintech dengan jumlah masyarakat kelas menengah yang mencapai 45 juta orang, serta total pengguna internet yang mencapai 150 juta. Atas dasar itu, perkembangan fintech adalah sebuah keniscayaan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan perekonomian nasional.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Seiring perkembangan fintech, OJK telah menyediakan kerangka pengaturan dan pengawasan yang memberikan fleksibilitas ruang inovasi namun tanpa mengorbankan prinsip-prinsip transparan, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan fairness (TARIF), melalui penyediaan payung hukum inovasi keuangan digital dan pengaturan per produk seperti layanan inovasi keuangan keuangan digital, layanan digital banking, peer to peer lending dan equity crowdfunding.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Salah satu aturan yang diterbitkan OJK adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang mewajibkan Penyelenggara/platform fintech lending untuk mengedepankan keterbukaan informasi terhadap calon pemberi pinjaman dan peminjamnya agar dapat menilai tingkat risiko peminjam dan menentukan tingkat bunga.

 

Tumbuh pesatnya industri fintech di tengah masyarakat membuat OJK berpikir keras terkait masalah perlindungan konsumen. Oleh sebab itu, OJK menerbitkan POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri fintech.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

OJK merasa inovasi keuangan digital perlu diarahkan agar menghasilkan inovasi yang bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlindungan konsumen dan memiliki risiko yang terkelola dengan baik. Sesuai dengan Peraturan OJK 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, OJK mengawasi penyelenggara P2P yang berstatus terdaftar atau berizin dan hingga 12 Desember 2018 telah mencapai 78 penyelenggara.

 

“OJK mengarahkannya agar (fintech –red) bermanfaat untuk perekonomian nasional dan kepentingan masyarakat luas serta mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat,” kata Ketua OJK Wimboh Santoso saat membuka seminar “Fintech Goes To Campus – Kolaborasi Milennial Dan Fintech Menyongsong Revolusi Industri 4.0” di Universitas Sebelas Maret, Solo, Sabtu (9/3) lalu.

 

Di tengah perkembangan fintech, sayangnya masyarakat tidak menyadari apakah penyelenggara fintech yang meminjamkan dana merupakan perusahaan yang legal atau ilegal. Terkait hal hal ini OJK memastikan bahwa penyelenggara Fintech Peer To Peer Lending yang tidak terdaftar atau tidak berizin dari OJK dikategorikan sebagai P2P ilegal. OJK mengingatkan keberadaan P2P ilegal tidak dalam pengawasan pihak manapun, sehingga transaksi dengan pihak P2P ilegal sangat berisiko tinggi bagi para penggunanya.

 

Belakangan perkembangan fintech ‘ternoda’ dengan maraknya usaha-usaha fintech ilegal. Kondisinya bisa dibilang cukup memprihatinkan. Jenis-jenis pelanggaran hukum yang dilakukan fintech ilegal beragam, bisa berupa penagihan yang kasar hingga pelecehan seksual. Selain itu, tingginya bunga pinjaman hingga pencurian data pribadi melalui telepon seluler konsumen yang dilakukan perusahaan fintech menimbulkan dampak buruk terhadap konsumen.

 

Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam L. Tobing, mengatakan berdasarkan deteksi servernya, kebanyakan server fintech-fintech ilegal berasal dari Indonesia, kemudian dari Amerika Serikat, Singapura, Cina dan Malaysia. Sedangkan modus penyelenggara fintech ilegal adalah mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat tanpa mempedulikan aturan perundang-undangan yang berlaku.

 

“Jadi mereka membuat aplikasi di situs, appstore gawai tanpa memiliki izin atau terdaftar di OJK,” kata Tongam.

 

Tongam mengatakan setiap fintech lending yang telah terdaftar/berizin dari OJK telah dilarang untuk mengakses daftar kontak, berkas gambar dan informasi pribadi dari smartphone pengguna fintech lending yang tidak berhubungan langsung dengan pengguna. Kemudian, setiap bentuk kerja sama Penyelenggara dengan pihak ketiga, antara lain kerja sama penagihan, wajib disampaikan kepada OJK untuk dilakukan penilaian apakah kerja sama dapat dilanjutkan atau tidak.  

 

Sekadar catatan, sampai Februari 2019 sudah ada 99 perusahaan fintech peer to peelending yang terdaftar dan berizin OJK. Hingga pertengahan Maret 2019, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan 168 entitas fintech ilegal. Satgas juga mengklaim telah mendeteksi 803 entitas fintech ilegal. Satgas juga sudah meminta Kemkominfo untuk menutup fintech ilegal tersebut.

 

“Kami meminta masyarakat untuk tidak melakukan pinjaman terhadap Fintech Peer-To-Peer Lending tanpa terdaftar atau izin OJK tersebut, agar tidak dirugikan ulah Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal tersebut,” kata Tongam.

 

Hukumonline.com

Sumber: OJK

 

Sementara LBH Jakarta mencatat hingga Februari 2019 telah menerima sekitar 3 ribu pengaduan masyarakat terkait fintech ilegal. Selain LBH Jakarta, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menerima 426 pengaduan yang mengadukan 510 platform fintech P2P lending selama periode Januari - Maret 2019.

 

Mayoritas laporan yang masuk adalah mengenai minimnya informasi yang diberikan oleh pelaku usaha terkait proses pinjam meminjam seperti besaran bunga, biaya administrasi. Kemudian terkait tingginya biaya bunga dan administrasi, proses penagihan yang di dalamnya terdapat tindak pidana fitnah, penipuan, pengancaman dan penyebaran data pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.

 

“Berdasarkan penelitian kami kemarin banyak aplikasi yang memberikan bunga sebesar 350 persen dalam 90 hari, dan juga sulit berkontak dengan debt collector maka konsumen mencari alamat perusahaan terkait tapi perusahan terkait tidak menyediakan alamat kantor,  email maupun nomor telepon yang bisa dihubungi,” kata Jeanny.

 

Hukumonline.com

Sumber: Diolah dari Hasil Riset

 

Seolah-olah memberikan keuntungan, ternyata kegiatan fintech ilegal justru menjebak dan merugikan masyarakat. Korban dikenakan bunga dan denda yang tinggi, jangka waktu yang singkat, menyalin daftar kontak yang kemudian dipergunakan untuk mengintimidasi atau meneror korbannya kalau tidak mau melunasi pinjaman.

 

Permasalahan ini menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, berpendapat selain OJK bertindak tegas terhadap perusahaan fintech ilegal, konsumen diminta membaca dengan cermat persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan fintech sebelum bersepakat. Sebab, teror yang dialami konsumen bisa jadi bermula dari ketidaktahuan konsumen memahami persyaratan teknis yang ditentukan oleh perusahaan fintech tersebut.

 

“Konsumen tidak memahami bagaimana besaran bunga yang ditentukan dan mekanisme cara penagihan oleh perusahaan online kepada konsumennya,” kata Tulus.

 

Tags:

Berita Terkait