Perjalanan Panjang Menanti Pengesahan RUU Migas yang Terus Molor
Utama

Perjalanan Panjang Menanti Pengesahan RUU Migas yang Terus Molor

Sudah sembilan tahun diusulkan, pengesahan RUU Migas masih tidak jelas hingga saat ini. UU yang berlaku saat ini dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi tambang minyak dan gas bumi. BAS
Ilustrasi tambang minyak dan gas bumi. BAS

Pembahasan Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) untuk menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2001 masih belum usai penyelesaiannya di DPR RI. Padahal, RUU ini telah sembilan tahun diusulkan agar diamandemen sebagai perbaikan tata kelola migas yang selama ini penguasaan negara terhadap sumber daya alam tersebut masih lemah.

 

Atas kondisi tersebut, sejumlah pengamat mempertanyakan keseriusan DPR dan pemerintah dalam menyusun aturan ini. Pasalnya, RUU ini diharapkan menjadi payung hukum bagi seluruh pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha sektor migas. Kritik atas persoalan tersebut salah satunya disampaikan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bakhtiar.

 

“RUU Migas ini sudah ada di prolegnas sejak 2010 tapi sampai saat ini belum ada kejelasan. Dalam prosesnya, pembahasan RUU ini banyak kelemahan pada tahap penyusunan maupun pembahasan,” jelas Bakhtiar di Jakarta, Kamis (28/2).

 

Bakhtiar menjelaskan tertundanya pembahasan RUU ini menyebabkan kepastian hukum sektor migas semakin tidak jelas. Salah satu ketentuan dalam RUU tersebut mengatur mengenai penguasaan negara terhadap migas melalui Badan Usaha Khusus (BUK). Menurutnya, peran BUK tersebut harus diperjelas agar tidak menimbulkan kerancuan bagi para pemangku kepentingan.

 

Sebab, pengelolaan migas tidak memiliki dasar hukum kuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah pasal dalam UU Migas pada 2012. Putusan MK tersebut juga secara hukum membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu (BP) Migas yang dianggap perannya tidak mewakili negara dalam pengelolaan migas.

 

Dengan demikian, putusan MK tersebut menugaskan sementara Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) mengambil alih tanggung jawab BP Migas. “Sekarang ini ada ketidakpastian hukum karena SKK Migas itu tugasnya hanya sementara. Sehingga, kami meminta agar RUU Migas ini segera diselesaikan sehingga ada kepastian tata kelola migas,” jelas Bisman.

 

Hukumonline.com

Sumber: PUSHEP

 

Hukumonline.com

Sumber: PUSHEP

 

Sebelumnya, dalam draft RUU Migas yang diperoleh Hukumonline, nantinya regulasi tersebut mengatur penguasaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara sebagai sumber daya alam strategis.

 

Penguasaan dan pengusahaan minyak dah gas bumi diatur dalam Bab III meliputi seluruh kegiatan usaha hulu hingga usaha hilir minyak dan gas bumi. Pemerintah pusat merupakan pemegang kendali penguasaan pertambangan minyak dan gas bum melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan secara ketat.

 

Pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan migas tentu memberikan kuasa usaha pertambangan kepada Badan Usaha Khusus (BUK) Minyak dan Gas. BUK Migas merupakan badan usaha milik negara (BUMN) yang dibentuk khusus berdasarkan RUU Minyak dan Gas Bumi ini. Nantinya, BUK melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi yang seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara.

 

Adapun pengaturan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi dapat dilaksanakan oleh BUK Migas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Termasuk juga perusahaan swasta nasional, badan usaha swasta asing, dan koperasi. Kata lain, semua entitas tersebut dapat melaksanakan kegiatan usaha hilir migas.

 

Sehubungan cadangan migas, pemerintah pusat melalui BUK Migas berkewajiban menetapkan dan meningkatkan temuan cadangan minyak dan gas bumi. Dalam rangka kepentingan nasional seluruh wilayah Indonesia, pemerintah pusat wajib menetapkan cadangan strategis, cadangan penyangga, serta cadangan operasional minyak dan gas bumi yang nantinya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP).

 

(Baca: Dinamika Tambang Indonesia 2018 dan Wajah RUU Migas Bumi)

 

Selain itu, pemerintah pusat berkewajiban menjamin ketersediaan dan penyaluran bahan bakar minyak, bahan bakal gas bumi. Semuanya merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh Indonesia.

 

Sementara itu, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah mendesak agar pemerintah dan DPR segera menuntaskan pembahasan RUU Migas. Menurutnya, penurunan produksi migas serta maraknya aksi pemburu rente atau mafia migas akan terus terjadi apabila tidak terdapat perbaikan pada tata kelola migas.

 

Lebih lanjut, dia juga menjelaskan UU Migas yang berlaku saat ini menyebabkan kegagalan pengelolaan migas sebagai sumber energi utama. “Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya roadmap pengelolaan dan pemanfaatan migas, adanya mafia migas serta inefesiensi pengganti biaya atau cost recovery,” jelas Maryati.

 

Sehubungan dengan BUK, Maryati menilai perlu dibentuk kelembagaan yang dijalankan oleh BUMN Pengelola. Lembaga tersebut bertugas memenuhi kebutuhan migas dan mencari cadangan starategis migas di dalam dan luar negeri. BUMN Pengelola ini berwenang untuk eksplorasi dan eksploitasi di wilayah kerja (WK) secara intensif dan transparan.

 

Di sektor hulu, BUMN Pengelola ini dapat bekerja sama dengan badan usaha lain seperti swasta melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS). Sedangkan sektor hilir, BUMN pengelola tersebut berfungsi memenuhi kebutuhan energi nasional dan pemanfaatan migas.

 

“Kami menekankan khususnya dalam aspek kelembagaan, pentingnya membangun koordinasi antara kementerian yang mengurusi energi dan sumber daya mineral dengan kementerian BUMN serta pengawasan DPR. BUMN ini nantinya harus dikelola secara efesien, transparan dan akuntabel,” jelas Maryati.

 

Tags:

Berita Terkait