Peristiwa Penembakan Pekerja Konstruksi di Papua Dapat Dikategorikan Kecelakaan Kerja
Berita

Peristiwa Penembakan Pekerja Konstruksi di Papua Dapat Dikategorikan Kecelakaan Kerja

Peristiwa kecelakaan yang menimpa pekerja selama masih berada dalam hubungan kerja masuk kategori kecelakaan kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perlindungan pekerja. Ilustrator: BAS
Ilustrasi perlindungan pekerja. Ilustrator: BAS

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hak bagi pekerja. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan untuk melindungi keselamatan buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal maka diselenggarakan upaya K3. Salah satu resiko yang dapat dialami buruh di tempat kerja adalah kecelakaan kerja. Resiko kerja itu antara lain dapat dilihat pada peristiwa penembakan sejumlah pekerja konstruksi yang membangun proyek jalan Trans Papua di Kabupaten Nduga, Papua. Para buruh dipekerjakan oleh Istaka Karya.

 

Peristiwa penembakan itu dikecam banyak pihak termasuk Komnas HAM. Komnas HAM mencatat jumlah korban penembakan mencapai puluhan orang. Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, meminta aparat penegak hukum segera menindak dan menangkap pelaku penembakan itu sesuai aturan hukum dan prinsip HAM. Pemerintah harus memastikan tersedianya perlindungan, menanggung seluruh biaya pemulihan fisik dan non fisik bagi korban dan saksi yang selamat.

 

Komnas HAM meminta Pemerintah melakukan upaya pencegahan. Apalagi setlah peristiwa itu, proses pemberian hak-hak para pekerja tidak berjalan mulus. “Meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya-upaya pencegahan, dengan melibatkan berbagai elemen (Pemerintah Daerah dan masyarakat) agar peristiwa yang sama tidak terulang,” kata Damanik dalam keterangan pers Rabu (5/12).

 

(Baca juga: Kewajiban Perusahaan Membayar Iuran BPJS Kesehatan Karyawan yang di-PHK)

 

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, menilai apa yang menimpa pekerja konstruksi yang menjadi korban penembakan di Nduga masuk dalam kategori kecelakaan kerja. Sebab, peristiwa itu terjadi ketika buruh sedang melakukan pekerjaan mereka. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjelaskan kecelakan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.

 

Mengacu Peraturan Pemerintah (PP) No. 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) Timboel menyebut jika pekerja yang mengalami kecelakaan kerja itu sudah menjadi peserta program JKK dan JKM BPJS Ketenagakerjaan maka manfaat yang akan diterima antara lain santunan sebesar 48 kali upah sebulan, santunan berkala Rp2,4 juta dan beasiswa Rp12 juta serta biaya pemakaman Rp3 juta.

 

“Jika perusahaan tidak mengikutsertakan pekerjanya sebagai peserta program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan, sesuai PP No.44 Tahun 2015 perusahaan wajib membayar penuh seperti jaminan yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan,” katanya di Jakarta, Senin (10/12).

 

Manfaat lain yang harus diterima pekerja yang mengalami kecelakaan kerja itu menurut Timboel termasuk manfaat program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) diberikan kepada ahli waris jika pekerja yang bersangkutan meninggal. Timboel menegaskan ada 4 program jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan yang wajib bagi pekerja sektor swasta yaitu JP, JHT, JKK dan JKM.

 

(Baca juga: Jaminan Kecelakaan Kerja untuk Pekerja yang Meninggal dalam Perjalanan Pulang)

 

Perselisihan antara keluarga pekerja korban penembakan dengan pihak pemberi kerja menurut Timboel tidak akan terjadi jika pekerja sudah didaftarkan dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Peristiwa ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi, memastikan seluruh pekerja yang bekerja di proyek infrastruktur sudah terdaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

 

Belum didaftarkan

Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, Irvansyah Utoh Banja, mengatakan PT Istaka Karya tercatat sebagai perusahaan peserta BPJS Ketenagakerjaan. Tetapi proyek yang digarap perusahaan di Papua belum didaftarkan pada perlindungan jasa konstruksi BPJS Ketenagakerjaan. “Sehingga pekerjanya tidak mempunyai perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan,” urainya.

 

Utoh menjamin jika sudah didaftarkan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, pekerja yang menjadi korban penembakan dan meninggal akan mendapat santunan sebesar 48 kali upah sebulan yang dilaporkan pemberi kerja. Jika meninggal bukan karena kecelakaan kerja, santunan yang diberikan sebesar Rp24 juta ditambah beasiswa untuk 1 orang anak.

 

Sebagaimana PP No. 44 Tahun 2015, Utoh memaparkan jika pekerja tidak didaftarkan dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan, maka menjadi tanggungan perusahaan untuk memberikan jaminan dan santunan kepada pekerjanya yang mengalami risiko pekerjaan termasuk kecelakaan kerja. Besaran jaminan dan santunan yang diberikan perusahan tersebut minimal sama seperti standar yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan.

 

Mengenai pekerja yang menjadi korban penembakan itu Utoh tidak bisa menentukan apakah masuk kategori kecelakaan kerja atau bukan. Menurutnya BPJS Ketenagakerjaan belum memiliki data resmi mengenai kejadian itu.

 

Ahli hukum ketenagakerjaan dan kepailitan Universitas Airlangga Surabaya, Hadi Subhan, meyakini peristiwa yang pekerja yang menjadi korban penembakan di Papua itu masuk kategori kecelakaan kerja. Menurutnya kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang dialami pekerja ketika dalam perjalanan dari rumah menuju lokasi kerja dan sebaliknya.

 

Subhan mengatakan yang menjadi persoalan sekarang apakah pekerja yang menjadi korban penembakan itu sudah terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial yang digelar BPJS Ketenagakerjaan atau belum. Menurutnya pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial. “Jangankan pekerja yang sudah jelas statusnya memiliki hubungan kerja, orang magang saja yang belum memiliki status hubungan kerja wajib didaftarkan program jaminan sosial terutama JKK dan JKM,” tegasnya.

 

Menurut Subhan kepesertaan itu wajib untuk seluruh pekerja penerima upah (PPU) apapun statusnya baik kontrak atau tetap. Ada sanksi yang dapat dikenakan kepada pemberi kerja yang tidak menunaikan kewajibannya untuk mendaftarkan pekerja dan keluarganya dalam program jaminan sosial yang dikelola BPJS.

 

Mengacu UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Subhan menjelaskan sanksinya mulai dari administratif sampai pidana. Bahkan keluarga pekerja juga bisa mengajukan gugatan perdata kepada pemberi kerja.

Tags:

Berita Terkait