Peringati Mayday 2023, Komnas HAM Terbitkan 8 Rekomendasi
Utama

Peringati Mayday 2023, Komnas HAM Terbitkan 8 Rekomendasi

Antara lain merekomendasikan korporasi menerapkan prinsip Business and Human Rights (UNGPs,-red) atas tanggung jawab untuk menghormati (Responsibility to Respect) HAM pekerja/buruh.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah. Foto: Istimewa
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah. Foto: Istimewa

Hari Buruh Internasional atau dikenal dengan istilah May Day menjadi ajang kalangan masyarakat sipil untuk menyuarakan berbagai isu perburuhan. Tak hanya organisasi masyarakat sipil, sejumlah lembaga negara seperti Komnas HAM juga angkat bicara menyoal sejumlah isu yang dianggap penting untuk diperhatikan secara serius oleh pemerintah.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah, mengatakan lembaganya menerbitkan sedikitnya 8 rekomendasi dalam rangka memperingati May Day 1 Mei 2023. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan pemerintah daerah untuk mengimplementasikan standar HAM dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi pekerja atas pekerjaan yang layak untuk menjamin kehidupan yang lebih manusiawi. Kedua, pemerintah memastikan iklim usaha dan lingkungan kerja yang lebih aman dan sehat bagi pekerja.

Ketiga, pemerintah memaksimalkan penyerapan tenaga kerja dan pembukaan lapangan kerja baru sebagai upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi dimana banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Keempat, pemerintah mengambil langkah-langkah mitigasi penanganan resiko dan dampak diberlakukannya UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU atas potensi terjadinya pelanggaran hak-hak pekerja.

Kelima, korporasi menerapkan prinsip Business and Human Rights (UNGPs,-red) atas tanggung jawab untuk menghormati (Responsibility to Respect) hak asasi manusia pekerja,” kata Anis, Senin (01/05/2023).

Baca juga:

Keenam, pemerintah dan korporasi mengimplementasikan kuota 2 persen dan 1 persen bagi tenaga kerja disabilitas dan membangun mekanisme reward and punishment bagi BUMN dan korporasi. Ketujuh, mendorong pemerintah menjamin hak atas kebebasan berserikat bagi pekerja dan pekerja migran. Termasuk menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap pengurus dan anggota serikat pekerja yang memperjuangkan hak-hak normatifnya dan mengupayakan pendekatan restorative justice. Kedelapan, mendorong pengesahan RUU Perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT).

Anis mengatakan, tema internasional yang diusung dalam peringatan May Day 2023 adalah ‘Lingkungan Kerja yang Aman dan Sehat’. Sementara situasi buruh dan buruh migran masih rentan terhadap berbagai pelanggaran HAM. Misalnya, PHK sewenang-wenang, gaji tidak dibayar, ketidakjelasan status pekerja, larangan pembentukan serikat pekerja, tenaga alih daya atau outsourcing, mutasi sewenang-wenang, serta kriminalisasi terhadap buruh karena menuntut hak-hak normatif.

Sebaliknya, Anis melihat ada perlakuan khusus terhadap tenaga kerja asing (TKA), seperti kemudahan dalam perekrutan untuk level direksi, komisaris dan lain-lain. Serta ada laporan terkait pengekangan serikat pekerja, dan penegakan hukumnya banyak berhenti di tingkat kepolisian. Selain itu kerentanan khusus bagi pekerja perempuan seperti kekerasan seksual di tempat kerja, pemenuhan hak cuti haid dan melahirkan serta larangan berserikat bagi pekerja perempuan.

Mantan Direktur Migrant Care itu mengingatkan, pekerja migran di luar negeri rentan menjadi korban transnational organized crime, termasuk tindak pidana perdagangan orang. Sepanjang 2020-2023, ada 1.200 buruh migran menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dengan modus scamming di beberapa negara di Asia Tenggara. Bagi pekerja rumah tangga (PRT), sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan serta rentan menghadapi situasi kerja tidak layak.

Rentannya pelanggaran hak buruh selaras dengan pengaduan yang masuk ke Komnas HAM. Periode 2020-2023 Komnas HAM menerima pengaduan terkait ketenagakerjaan baik buruh di dalam negeri maupun pekerja migran Indonesia di luar negeri sebanyak 553 aduan dengan rincian 177 (2020), 192 (2021), 170 (2022) dan 28 (hingga April 2023).

Mayoritas kasus perburuhan yang diadukan terkait upah dan tunjangan tidak dibayar sebanyak 251 kasus, PHK sewenang-wenang 181 kasus, ketidakjelasan status pekerja sebanyak 31 kasus, union busting 26 kasus, penurunan pangkat dan mutasi sewenang-wenang sebanyak 17 kasus, larangan pembentukan serikat pekerja sebanyak 9 kasus, dan lain-lain sebanyak 38 kasus. Pihak yang paling banyak diadukan adalah korporasi dan pemerintah pusat.

Terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnud menyorot UU 6/2023 memuat sejumlah pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam berbagai aspek. Fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility) menjadi nafas pembentukan substansi UU ini setidaknya dalam 3 hal. Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. Konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.

Selain itu UU 6/2023 mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol, serta memutihkan ‘dosa’ dengan hilangnya peraturan untuk beralih menjadi hubungan kerjapada perusahaan user jika melanggar. Penambahan alasan Pemutusan Kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan Perusahaan melakukan PHK kepada Buruh. Sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.

Kedua, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja. Yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan mengurangi hak istirahat buruh, hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Selain itu, tidak ada jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja, sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi pengusaha untuk menjadikan buruh sebagai pekerja berstatus kontrak seumur hidup.

Ketiga, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah. Selain ketiga hal itu Isnur melihat jaminan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terhadap buruh semakin dikebiri melalui Pasal 273 UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat aturan tentang ancaman pidana demonstrasi.

“Aturan ini akan melemahkan posisi tawar serikat buruh yang menjadikan demonstrasi sebagai metode perjuangan buruh,” urainya.

Isnur menilai, UU 6/2023 merupakan bentuk nyata pemerintah dan DPR mengutamakan kepentingan oligarki ketimbang buruh. Keberpihakan itu juga terlihat dari lambatnya proses legislasi RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Berbagai kebijakan itu bertentangan dengan TAP MPR No.16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang mewajibkan negara menempatkan buruh sebagai subjek utama dalam membangun demokrasi ekonomi.

Tags:

Berita Terkait