Perhitungan Suara Tak Rampung, Komisinoer KPU Terancam Pidana
Utama

Perhitungan Suara Tak Rampung, Komisinoer KPU Terancam Pidana

Bisa diantisipasi dengan menerbitkan Perppu.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Diskusi Menyongsong Pilpres 9 Juli 2014. Jakarta Rabu (7/5). Foto: RFQ
Diskusi Menyongsong Pilpres 9 Juli 2014. Jakarta Rabu (7/5). Foto: RFQ
Perhitungan suara calon anggota legislatif yang dilakukan oleh KPU Pusat mendekati batas waktu yang telah ditentukan, yakni Jumat (9/5). Namun, dengan banyaknya persoalan teknis dimungkinkan KPU tak mampu menyelesaikan perhitungan suara secara nasional. Hal itu akan berdampak pada penyelenggaran Pemilihan Presiden yang akan digelar pada Juli mendatang. Bukan itu saja, penyelenggara Pemilu bisa terancam pidana. Demikian intisari dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (7/5).

Wakil Ketua DPD La Ode Ida mengatakan, penyelenggaraan Pemilu Legislatif relatif kondusif. Sayangnya, pelaksanaan di lapangan masih terjadi banyaknya persoalan. Mulai distribusi logistik yang lambat, hingga penggelembungan suara dan hilangnya suara caleg. Bahkan, masih adanya permintaan perhitungan suara ulang di tingkat bawah. Sementara, rekapitulasi di tingkat KPU belum juga rampung.

Dikatakan La Ode, jika KPU tak mampu menyelesaikan perhitungan secara nasional hingga 9 Mei, penyelenggara pemilu nasional dapat dipidana. Tidak main-main ancaman pidana mencapai 5 tahun hukuman penjara. Pandangan La Ode merujuk pada Pasal 319 UU No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 319 menyatakan, “Dalam hal KPU tidak menetapkan perolehan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 205 ayat (2), anggota KPU dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp60.000.000 (enam puluh juta rupiah)”.

Sekretaris Pimpinan Pusat Muhamadiyah, Abdul Mu’ti, menambahkan Pileg yang digelar 9 April lalu, teramat kapitalis dan praktik politik uang cenderung dominan. Bagi para caleg yang tidak melakukan praktik uang cenderung tidak terpilih mesk memiliki prestasi di daerah pemilihannya.

Menurutnya, kekuatan finansial dalam Pileg 2014 justru mengancam parlemen jika diisi oleh anggota dewan yang proses pemilihan menggunakan uang. Selain itu, kata Mu’ti, sistem proporsional terbuka berdampak antara caleg satu dengan lainnya dalam satu partai saling ‘memangsa’.

“Kenapa ada pencurian suara, karena itu imbas dari sistem ini,” ujarnya.

Mu’ti yang juga pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo itu menuturkan, banyaknya persoalan berdampak pada perhitungan suara. Menurutnya, masyarakat pesimis dengan perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU pusat. Sempitnya waktu yang tersisa mengakibatkan KPU mesti bekerja keras menyelesaikan rekapitulasi perhitungan suara secara nasional.

“Bayangkan waktu yang mepet, rekapitulasi perhitungan suara belum semua, belum lagi ada yang perhitungan ulang,” katanya.

Ia berpandangan, KPU harus segera memutuskan hasil rekapitulasi perhitungan suara. Hal itu dilakukan agar ada kepastian suara total yang diperoleh partai. Dengan begitu akan ada kepastian partai mana saja yang dipastikan dapat mengajukan pencalonan presiden. Soalnya jika tidak, justru akan menghambat penyelenggaraan Pilpres.

Caleg terpilih dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Muchtar Luthfi Andi Mutty, menambahkan perlunya perbaikan mekanisme perhitungan suara Pileg dalam pemilu mendatang. Menurutnya, dalam mekanisme perhitungan dari mulai tingkat bawah secara berjenjang hingga tingkat atas suara caleg tak jarang yang menyusut. Itu sebabnya, perlu memangkas mata rantai birokrasi.

“Karena dengan begitu akan menghemat waktu,” ujarnya

Luthfi yang juga mantan staf khusus Wapres  itu menambahkan, model pemilu manual perlu diakhiri. Menurutnya, sejak diberlakukan sistem e-KTP, setidaknya perlu diancam sistem pemilu elektronik sehingga pemilih cukup memilih melalui media internet. Luthfi mengakui masih terdapat kendala di beberapa daerah dengan insfrastruktur yang belum  memadai.

“Tapi  bagi daerah yang memadai, kenapa tidak melakukan sistem elektronik. Kalau dengan kondisi seperti ini, bagaimana kita mau menghadapi Pilpres,” ujarnya.

Perppu
Dalam rangka meminimalisir agar penyelenggara pemilu, dalam hal ini komisoner KPU tidak terjerat pidana, maka presiden mesti menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Menurut La Ode, hal itu menjadi solusi yang mesti ditempuh mengingat waktu perhitungan suara mendekati batas waktu. “Kalau tidak selesai 9 Mei perhitungan suara Pileg, maka presiden harus menerbitkan Perppu, itu sah menurut konstitusi,” ujarnya.

Mu’ti mengamini pandangan La Ode. Menurutnya, solusi hukum yang mesti diambil presiden adalah menerbitkan Perppu. Dengan Perppu, dimungkinkan waktu perhitungan suara dapat diperpanjang. Atas dasar itulah, Perppu menjadi payung hukum sehingga komisioner KPU terhindar dari ancaman pidana dan denda. 

“Presiden harus sudah memikirkan hal tersebut. Setelah itu ada reschedule proses Pilpres,” ujarnya.

Luthfi menambahkan, terbitnya Perppu sebagai antisipasi supaya penyelenggara pemilu tidak terjerat pidana. Pasalnya, jika tidak diterbitkan Perppu, waktu pelaksanaan Pilpres akan molor. Bahkan, bukan tidak mungkin akan muncul chaos.

“Presiden harus mengambil langkah Perppu, supaya ketika penyelenggara pemilu dipidana dan tidak dilaksanakan Pilpres tidak vakum of power,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait