Perhatikan! 3 Tarif Ini Bakal Naik pada 2020
Berita

Perhatikan! 3 Tarif Ini Bakal Naik pada 2020

Sebagian besar kenaikan tarif tersebut memberatkan masyarakat luas.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES
Layanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Foto: RES

Pergantian tahun akan berlangsung tidak lama lagi. Terdapat berbagai kebijakan baru pemerintah yang telah diputuskan pada tahun ini akan berlaku pada 2020. Kebijakan baru tersebut berupa penetapan kenaikan tarif pada sektor perpajakan, ketenagakerjaan hingga jaminan sosial. Kebijakan ini tentunya menyita perhatian publik bahkan menimbulkan pro-kontra karena dianggap memberatkan masyarakat.

 

Sedikitnya terdapat tiga jenis tarif yang akan naik pada 2020. Berikut jenis-jenis tarif tersebut berdasarkan rangkuman Hukumonline:

 

1. Iuran BPJS Kesehatan

Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada Oktober 2019. Kenaikan tarif ini diharapkan menutup defisit akut Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara layanan tersebut.

 

Kenaikan ini dialami setiap kategori peserta BPJS Kesehatan dengan tingkatan beragam hingga 100 persen lebih. Kenaikan tarif yang telah disepakati pemerintah:

  1. PBI kenaikan dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa.
  2. ASN/TNI/Polri mengalami penyesuaian dari semula iuran 5 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga dengan tanggungan pemerintah 3 persen dan 2 persen ditanggung ASN/TNI/Polri menjadi 5 persen dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi dan tunjangan penghasilan bagi PNS daerah dengan batasan gaji maksimal Rp 12 juta. Sebanyak 4 persen ditanggung pemerintah dan 1 persen ditanggung ASN/TNI/Polri.
  3. PPU-BU mengalami penyesuaian semula 5 persen dari total upah dengan batas atas Rp 8 juta dengan tanggungan pemberi kerja sebesar 4 persen dan 1 persen ditanggung pekerja. Berubah menjadi 5 persen dari total upah dengan batas atas Rp 12 juta dengan tanggungan 4 persen oleh pemberi kerja dan 1 persen ditanggung pekerja.
  4. PBPU mengalami kenaikan pada kelas 3 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa. Kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa. Dan, kelas 1 naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160.000 per jiwa.

 

Kebijakan ini menimbulkan perdebatan publik. Bahkan, lembaga pengawas pemerintah Ombudsman RI sempat mengkritik kebijakan ini karena dianggap tidak menyelesaikan persoalan defisit BPJS Kesehatan. Anggota Ombudsman RI, Dadan Suparjo Suharmawijaya menyatakan terdapat berbagai aspek yang harus diperbaiki dari program JKN BPJS ini.

 

Menurutnya, kenaikan tarif tersebut memberatkan masyarakat selaku peserta BPJS. Terlebih lagi, dia menyoroti masyarakat yang membayar iuran tersebut secara mandiri atau PBPU sebagai kenaikannya sangat signifikan.

 

(Baca: Hak Menuntut Manfaat JKK Jadi 5 Tahun, Jaminan Kematian Jadi Rp20 Juta)

 

“Kalau yang bayar secara mandiri dan PBI ini harus dilakukan secara gradual. Sebab terdapat berbagai persoalan-persoalan lain yang membuat BPJS Kesehatan terus defisit,” jelas Dadan saat dijumpai di Jakarta, Kamis (13/9).

 

Kritik juga diutarakan dari kelompok publik Komunitas Peduli BPJS Kesehatan. Melalui juru bicaranya, Johan Imanuel, kelompk tersebut menilai besaran kenaikan iuran ini memberatkan masyarakat. Dia mengaku jika pihaknya sudah menerima beberapa keluhan, terutama dari masyarakat daerah, terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut.

 

"Kenaikan iuran ini berdampak bagi satu keluarga sehingga jika diperkirakan akan membayar iuran sebesar kurang lebih Rp400.000,- per-bulannya untuk seluruh anggota keluarga. Sementara pendapatan dalam keluarga tersebut setiap bulannya tidak menentu, rata-rata hanya di kisaran satu juta rupiah hingga satu setengah juta rupiah.  Sehingga kebutuhan lainnya dari keluarga tersebut belum tentu tercover semua," kata Johan, Rabu (5/11).

 

Menanggapi kritik tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menjelaskan iuran saat ini dianggap tidak mampu menutupi biaya layanan kesehatan para peserta. Sehingga, risiko defisit laporan keuangan BPJS Kesehatan semakin membesar. Hal ini dikhawatirkan dapat mengganggu layanan kesehatan para peserta saat berobat.

 

Dia menjelaskan rekomendasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini merupakan hasi pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasil pemeriksaan tersebut menemukan salah satu penyebab utama defisit BPJS Kesehatan adalah besarnya selisih iuran dari peserta dengan perhitungan aktuaria atau penaksiran asuransi.

 

“Kenapa program ini defisit? BPKP mengaudit seluruh rumah sakit, puskesmas bahkan dokter yang terhubung dengan layanan ini (BPJS Kesehatan). Memang ada potensi fraud tapi tidak sampai 1 persen. Yang direkomendasikan harus ada penyesuaian (iuran) berdasarkan perhitungan aktuaria,” jelas Fachmi dalam disukusi “Iuran BPJS Kesehatan” di Jakarta, Senin (7/10).

 

Faktor lain penyebab defisit membengkak yaitu terdapatnya peserta yang membayar iuran saat ingin berobat saja. Setelah sembuh peserta tersebut berhenti melanjutkan pembayaran iuran secara rutin. Padahal, Fachmi menerangkan inti program ini yaitu saling membantu sesama peserta.

 

“Dalam hal perbaikan iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan jangan dianggap memberatkan masyarakat. Pasalnya, sistem BPJS Kesehatan bersifat gotong royong di mana yang kaya mensubsidi yang miskin dan yang sehat mensubsidi yang sakit,” jelasnya.

 

2. Cukai Rokok

Pemerintah akan menaikkan cukai rokok dan harga rokok masing-masing sebesar 23 persen dan 35 persen pada 2020. Kebijakan ini diambil untuk mengendalikan konsumsi rokok nasional sekaligus meningkatkan penerimaan cukai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

 

Ketentuan tarif cukai rokok ini nantinya akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Tarif cukai rokok yang berlaku saat ini tercantum dalam PMK 156 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK.010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Pemerintah mengevaluasi setiap tahun tarif cukai rokok tersebut. Tarif cukai pada 2019 tidak terdapat kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, rata-rata per tahun kenaikan cukai rokok ini mencapai 10 persen. Dengan kata lain, kenaikan cukai rokok tahun ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata tersebut.

 

Hukumonline.com

 

3. Upah Minimum

Pemerintah melalui Surat Menteri Tenaga Kerja Nomor 308 Tahun 2019 telah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota sebesar 8,51 persen pada 2020. Persentase kenaikan tersebut diputuskan berdasarkan formula perhitungan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Komponen inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi dasar formula perhitungan tersebut.

 

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek), Mirah Sumirat menilai kenaikan upah tersebut terlalu sedikit tidak sesuai dengan standar harapan para pekerja dan buruh. Menurutnya, berbagai kenaikan harga-harga barang dan biaya lainnya tidak sebanding dengan kenaikan upah tersebut. Dia menyebutkan terdapat risiko pelonjakan pengeluaran rumah tangga seperti kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tarif listrik dan air.

 

Dia menjelaskan ideal kenaikan upah minimum tahun depan mencapai 18-20 persen. Nilai tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan pada lima pasar tradisional dan modern di berbagai daerah. Survei tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran langsung mengenai kenaikan-kenaikan harga pada barang-barang kebutuhan utama pekerja dan buruh.

 

Tidak sesuainya antara kenaikan upah dengan kebutuhan pekerja dan buruh ini disebabkan ketidaktepatan formula perhitungan upah minimum tersebut. Mirah menjelaskan formula perhitungan upah minimum berdasarkan 60 item kebutuhan hidup layak (KHL), inflasi dan pertumbuhan ekonomi dianggap belum mencerminkan kebutuhan hidup pekerja dan buruh.

 

Menurutnya, pemerintah seharusnya merevisi PP 78/2015 agar penyesuaian upah minimum dapat memenuhi kebutuhan pekerja dan buruh. Salah satu poin yang perlu direvisi yaitu item-item KHL yang diusulkan menjadi 84 komponen.  

 

Tags:

Berita Terkait