Perguruan Tinggi Diminta Ubah Paradigma Terkait Paten
Terbaru

Perguruan Tinggi Diminta Ubah Paradigma Terkait Paten

Perguruan tinggi di Indonesia selama ini hanya terbatas pada pendaftaran, tak ada tindak lanjut dari pihak perguruan tinggi untuk mengkomersialisasikan paten.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Perguruan tinggi atau yang sering disebut dengan universitas, akademi, atau institute adalah tahap akhir opsional pada pendidikan formal. Peserta didik perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidiknya disebut dosen.

Sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan, perguruan tinggi menghasilkan ide-ide dan hasil riset yang kemudian diolah menjadi temuan dan teknologi baru. Teknologi dan hasil temuan baru ini diyakini akan memberikan dampak kepada ekonomi Indonesia.

Atas dasar itu pula negara menyuntikkan dana yang tidak sedikit kepada perguruan tinggi untuk melakukan riset dan menemukan teknologi baru. Perguruan tinggi wajib mendaftarkan paten atas temuan tersebut ke Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.

Guru Besar Universitas Bangka Belitung (UBB), Tomy Suryo Utomo, mengatakan paradigma paten yang dilakukan oleh perguruan tinggi di Indonesia selama ini hanya terbatas pada pendaftaran. Namun sayang, lanjut Tomy, tak ada tindak lanjut dari pihak perguruan tinggi untuk mengkomersialisasikan paten.

“Filosofi paten adalah untuk memberi kesejahteraan kepada orang yang menemukan dan hasilnya berimbas ke negara. Sekarang sudah tidak musim mengandalakan SDA, sekarang serba AI, serba internet dan big data, dan itu memudahkan orang-orang untuk mengembangkan apapun. Jadi paradigma perguruan tinggi harus diubah, jangan berhenti di pendaftaran,” kata Tomy dalam diskusi daring, Kamis (27/5). (Baca: Diduga Langgar Hak Cipta Siaran Bola, Kemenkumham Tindak Kafe dan Bar)

Tomy menjelaskan perguruan tinggi harus memiliki paradigma ‘dagang’, dimana teknologi dan hasil riset tak sekedar ditemukan, tapi juga harus memberikan dampak secara ekonomi terhadap penemu dan juga kepada negara. Hasil komersialisasi ini dapat digunakan untuk mengembangkan perguruan tinggi tanpa harus mengandalkan dana dari pemerintah.

“Paradigmanya bukan cuma pendaftaran, tapi apa yang bisa kita jual universitas tidak mengharap dana dari kementerian. Kalau cuma mengharap itu enggak bakalan maju,” imbuhnya.

Salah satu contoh di Amerika. Tomy menyebut bahwa perguruan tinggi swasta di Amerika lebih maju karena memiliki keleluasaan untuk mengembangkan penemuan, salah satunya dengan cara bekerja sama dengan pihak swasta. Hal ini bisa ditiru oleh perguruan tinggi Indonesia lewat komersialisasi invensi dari para peneliti yang kemudian patennya bisa diperjualbelikan.

Untuk merealisasikan hal tersebut, maka perguruan tinggi harus memahami cara dagang HKI. Setidaknya terdapat empat cara komersialisasi HKI yang bisa dilakukan oleh perguruan tinggi yakni komersialisasi langsung, penjualan langsung, usaha patungan dengan pihak lain, dan lisensi.

Dalam penjualan langsung, kedudukan inventor atau penemu adalah sama dengan pemegang paten. Dalam praktik, inventor dan pemegang paten kadangkala tidak berada dalam tangan yang sama. Peralihan dari inventor kepada pemegang paten disebut penjualan hak ekonomi (assignment) yang dapat bersifat permanen dan tidak menerima royalti. Nama inventor tetap dicantumkan (Hak Moral).

Kemudian terdapat beberapa macam bentuk lisensi. Pertama, peralihan melalui lisensi. Ada tiga jenis perjanjian lisensi yang bisa digunakan, yaitu lisensi ksklusif (Exclusive License) dimana penerima lisensi (licensee) berhak atas hak eksklusif sehingga pemegang hak (licensor) tidak boleh menjalankan hak tersebut selama jangka waktu perjanjian lisensi.

Kemudian lisensi tunggal, di mana baik penerima lisensi maupun pemegang hak paten dapat menjalankan dan menggunakan teknologi yang dipatenkan, dan ketiga adalah lisensi Non-Eksklusif (Non-exclusive License) dimana beberapa penerima lisensi bersama dengan pemegang hak dapat menggunakan teknologi yang dipatenkan.

Terkait lisensi, terdapat dua mekanisme penilaian patent yakni valuasi paten dan metode valuasi alternatif. Pada valuasi paten atau penilaian paten ada empat metode yang bisa digunakan yakni income method yang didasarkan pada besarnya pemasukan yang diperoleh oleh pemegang paten selama jangka waktu perlindungan paten.

“Metode ini paling banyak digunakan untuk menghitung nilai paten dalam perjanjian lisensi,” jelas Tomy.

Kemudian cost method yang didasarkan pada penghitungan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengembangkan asset yang sama baik secara iternal maupun eksternal; market method yang didasarkan pada nilai transaksi yang dapat diperbandingkan yang dilaksanakan di pasar; dan option-based methods yang didasarkan pada metode pemberian harga yang telah dibuat sebelumnya untuk penggunaan penghitungan barang.

Kemudian metode valuasi alternatif dimana pembayaran lump-sum; pembayaran royalti, yang didasarkan pada volume penjualan dari produk yang dilisensikan, dan penjualan bersih (net sales-based royalty).

“Secara umum, banyak pihak yang menggunakan metode kombinasi antara pembayaran lump-sum dan royalti,” imbuhnya.

Kepala Seksi Kerja Sama Antar Lembaga Non Pemerintah dan Monitoring Konsultan KI Kemkumham, Handi Nugraha menambahkan bahwa Kekayaan Intelektual (KI) perlu dilindungi karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, menciptakan harga jual, dan mendorong tumbuhnya riset dan development.

“Kekayaan intelektual tanpa kekayaan ekonomi hanya sebagai hak sosial,” kata Handi pada acara yang sama.

Dalam konteks ini, negara bertanggung jawabb untuk menciptakan dan membangun sistem pelindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual nasional, dengan cara membuat dan mengundangkan peraturan perundang-undangan di bidang kekayaan intelektual; mendirikan institusi/lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kekayaan intektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; menciptakan sistem administrasi pendaftaran dan/atau pencatatan hak kekayaan intelektual; melakukan penegakan hukum hak kekayaan intelektual; dan membangun dan membina kerja sama dengan berbagai pihak (stakeholders) baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Tags:

Berita Terkait