Pergub DKI 38/2019 Munculkan Polemik, Ini Kata Pengamat
Berita

Pergub DKI 38/2019 Munculkan Polemik, Ini Kata Pengamat

Kebijakan yang diterbitkan Anies sebagai bentuk langkah maju dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dan kontekstual.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan, baru saja menerbitkan Pergub No 38 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 259 Tahun 2015 Pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan atas Rumah, Rumah Susun  Sederhana Sewa dan Rumah Susun Sederhana milik Dengan Nilai Jual Objek Pajak Sampai Dengan Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah).

 

Dalam Pergub 38/2019 ini, Anies menyebut jika Pemda DKI melakukan perluasan terhadap pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Perluasan itu ditujukan kepada orang-orang yang memberikan jasa bagi bangsa seperti Pahlawan Nasional, Perintis Kemerdekaan, Veteran termasuk guru, dosen, dan pensiunan.

 

Namun rupanya beleid ini memunculkan polemik di tengah masyarakat. Publik mempertanyakan munculnya Pasal 4A dalam Pergub yang mendalilkan bahwa penerapan pembatasan PBB yang selama ini sudah dijalankan hanya berlaku hingga Desember 2019.

 

Anies lantas buru-buru membantah isu tersebut. Ia menjelaskan bahwa meski ada pembatasan penerapan PBB tersebut hingga 31 Desember 2019, bukan berarti kebijakan tersebut akan dicabut pada tahun berikutnya.

 

"Siapa yang bilang mau naikin, siapa. Tidak ada rencana untuk menghapuskan PBB, tiap rumah yang NJOP di bawah satu miliar rencana saja tidak ada bahkan kita memperluas pembebasan kawasan itu," kata Anies seperti dikutip Antara, Selasa (23/4).

 

Merespons polemik yang terjadi, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan bahwa polemik yang terjadi di lapangan disebabkan pemahaman yang belum komprehensif dan cenderung parsial dan politis. Menurutnya, kebijakan yang diterbitkan Anies sebagai bentuk langkah maju dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dan kontekstual.

 

“Menurut saya, polemik ini tidak perlu terjadi jika peraturan ini dibaca secara saksama dan ditempatkan dalam konteks yang tepat.  Pergub 38/2019 tidak pernah mencabut Pergub Nomor 259/2015, tetapi mengubah beberapa ketentuan di dalamnya. Justru Pergub 38/2019 ini cerminan langkah maju dalam perumusan kebijakan yang lebih komprehensif dan kontekstual,” kata Yustinus ketika dikonfirmasi, Rabu (24/4).

 

Selain itu, berdasarkan Pergub 38/2019, wajib pajak orang pribadi yang telah memperoleh pembebasan PBB-P2 untuk tahun pajak sampai dengan tahun 2018 sebelum berlakunya Pergub ini (1 Januari 2019), tetap mendapatkan pembebasan PBB-P2.

 

Pembebasan PBB-P2 ini, lanjut Yustinus, memang berlaku sampai dengan 31 Desember 2019. Artinya wajib pajak yang memenuhi syarat tetap berhak memperoleh pembebasan PBB-P2 sesuai Pergub Nomor 259/2015 sebagaimana diubah dengan Pergub Nomor 38/2019. Dengan demikian wajib pajak yang memenuhi syarat tidak perlu khawatir karena tetap mendapatkan pembebasan PBB-P2 sampai 31 Desember 2019.

 

Yustinus mengigatkan bahwa ada hal positif dan patut diapresiasi dari kebijakan Pemprov DKI ini. Apa itu? Yakni pengecualian bagi wajib pajak yang mengalami perubahan data wajib pajak karena peralihan hak kepemilikan atau penguasaan atau pemanfaatan kepada wajib pajak badan.

 

Hal tersebut harus dikecualikan karena sudah tidak sesuai dengan kondisi dan alasan pemberian pembebasan PBB-P2 yaitu meringankan beban hidup wajib pajak orang pribadi. Ketidaksesuaian ini mengurangi potensi penerimaan daerah yang akan digunakan sebagai sumber pembiayaan pembangunan, dan fasilitas dinikmati pihak yang seharusnya tidak menikmati.

 

“Mengingat Pergub Nomor 259/2015 tidak dicabut dan hanya diubah dan pembebasan tetap diberikan sampai dengan 31 Desember 2019, besar kemungkinan kebijakan ini akan disempurnakan kemudian menunggu rampungnya pemetaan dan dan pendataan potensi pajak yang lebih konprehensif (fiscal cadaster),” tambahnya.

 

(Baca Juga: UMKM Butuh Perlindungan Hukum dalam Menghadapi MEA 2015)

 

Yustinus mengaku mendukung kebijakan ini. Ia berharap Gubernur DKI dapat mempertahankan kebijakan yang dimaksudkan untuk melindungi wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan menengah-bawah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan hasil pemetaan.

 

Hal ini juga sejalan dengan UU PBB dan UU PDRD, yang menyebutkan Gubernur atau Kepala Daerah dapat memberikan pengurangan jika kondisi subyektif (wajib pajak tidak mampu membayar, termasuk guru, buruh, pensiunan, veteran, dll) dan kondisi objektif (objek pajak mengalami bencana alam, gagal panen, dll). Selama ini fasilitas pengurangan ini belum cukup jelas, subyektif, dan inkonsisten diterapkan oleh Pemerintah Daerah.

 

Langkah Anies dalam menerapkan kebijakan ini diharapkan dapat dicontoh bagi Kepala Daerah lain dengan tujuan memperbaiki sasaran pemajakan termasuk lahan kosong agar produktif, fokus pada kawasan komersial, dan melakukan penilaian objek secara profesional untuk mendapatkan NJOP yang mencerminkan keadilan dan kepastian. Termasuk ekstensifikasi objek pajak agar memberi rasa keadilan bagi wajib pajak patuh.

 

“Gubernur dan Kepala Daerah lainnya memperhatikan pula kemungkinan membebaskan PBB-P2 untuk lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial yang bertujuan sosial dan membantu masyarakat, supaya mereka dapat terus survive dalam rangka mendukung kesuksesan program pemerintah,” kata Anies.

 

Lebih lanjut, Anies juga membuka potensi untuk menambahkan batas maksimal dari pembebasan PBB dari yang awalnya untuk hunian dengan NJOP di bawah Rp1 miliar menjadi di bawah Rp2 miliar.

 

Untuk memenuhi target pendapatan PBB, Pemprov DKI Jakarta telah melakukan pendataan ulang atas hunian-hunian yang difungsikan secara komersial. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait