Hubungan yang harmonis adalah dambaan setiap warga yang tinggal bertetangga. Tetapi acapkali hubungan bertetangga itu berubah menegangkan, diwarnai konflik, bahkan sesekali berujung ke pengadilan. Penyebabnya mungkin saja gara-gara hewan peliharaan. Secara tradisional, pemilik atau pengguna hewan piaraan bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat penerobosan hewan tersebut.
Di Indonesia, dengan aneka ragam hewan piaraan, peristiwa penerobosan atau peristiwa kerusakan akibat hewan lazim terjadi. Ada hewan kurban yang lepas dari pengawasan, ada hewan piaraan yang menggigit tetangga, ada kucing yang buang hajat di halaman rumah tetangga, atau peristiwa kerugian lain yang diakibatkan oleh hewan piaraan. Pada dasarnya, menurut hukum, seseorang dapat dimintai tanggung jawab akibat kerugian yang timbul oleh hewan peliharaan.
Dasarnya adalah Pasal 1368 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyebutkan pemilik seekor hewan, atau siapa yang memakainya selama hewan itu dipakainya, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh hewan tersebut, baik hewan itu ada di bawah pengawasannya maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1976: 81), berdasarkan rumusan tersebut, adakalanya kerugian timbul pada saat hewan berada di bawah pengawasan pemilik; tetapi mungkin juga terjadi pada saat hewan melarikan diri atau tidak dapat menemukan jalan menuju kandangnya. Pasal 1368 BW, tulis Wirjono, mengharapkan seorang pemilik atau pengguna hewan berusaha semaksimal mungkin agar hewan tetap berada di bawah pengawasannya. Maka, kalau terjadi peristiwa hewan melarikan diri atau tidak dapat menemukan jalan ke kandangnya, peristiwa semacam ini dianggap sebagai kealpaan si pemakai hewan.