Posita dan petitum merupakan istilah-istilah yang dikenal dan sering ditemui dalam praktik hukum acara perdata. Dalam suatu perkara perdata, pihak tergugat akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri.
Ketentuan pengajuan gugatan tersebut diatur dalam Pasal 118 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR). Di dalam artikel Formal Surat Gugatan dijelaskan bahwa secara garis besar surat gugatan biasanya berisi identitas para pihak, posita, dan petitum.
Identitas para pihak berisi dari identitas lengkap penggugat di antaranya yaitu nama, alamat, tempat dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, dan kapasitas penggugat sebagai diri sendiri atau direksi perusahaan.
Baca Juga:
- 4 Tantangan Baru Advokat Muda di Era Digital
- Tips Cegah Kebocoran Data Pribadi Hingga Perbedaan Tanda Tangan Elektronik dan Digital
- Melihat Fungsi Legal Due Diligence
Kemudian, posita disebut juga sebagai fundamentum petendi, yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Baik penggugat maupun tergugat dalam suatu tuntutan hukum harus menguraikan secara jelas dan runtut mengenai objek sengketa, hubungan hukum, alas hak yang dijadikan dasar menggugat, serta kerugian yang ditimbulkan.
Masing-masing hal dijabarkan secara rinci oleh penggugat atau dari tergugat agar surat tuntutan tidak menjadi kabur. Kemudian, posita yang dianggap lengkap dan memenuhi syarat harus memenuhi dua unsur yaitu dasar hukum dan dasar fakta.
Posita yang disusun dalam suatu tuntutan hukum harus diikuti dengan adanya permintaan atas sesuatu yang biasa dikenal dengan istilah petitum.