Perbedaan Jenis Data Spesifik vs Umum dalam UU Pelindungan Data Pribadi
Utama

Perbedaan Jenis Data Spesifik vs Umum dalam UU Pelindungan Data Pribadi

UU PDP membagi jenis data pribadi menjadi dua yaitu bersifat spesifik dan umum.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Terdapat pembagian jenis data dalam UU Pelindungan Data Pribadi  (PDP) yang telah disahkan pada pertengahan September lalu. Pasal 4 UU PDP membagi jenis data pribadi menjadi dua yaitu bersifat spesifik dan umum.

Pada data bersifat spesifik meliputi data dan informasi kesehatan, biometrik, genetika, catatan, kejahatan, data anak, data keuangan pribadi dan data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Sedangkan data bersifat umum yaitu nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data Pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.

Pada data bersifat spesifik terdapat perlakuan khusus dalam UU PDP. Misalnya, pada bagian kewajiban pengendali data pribadi Pasal 34 menyatakan pengendali data pribadi wajib melakukan penilaian dampak pelindungan data dalam hal pemrosesan data pribadi memiliki potensi risiko tinggi terhadap subjek data pribadi. Pemrosesan Data Pribadi memiliki potensi risiko tinggi sebagaimana dimaksud salah satunya pemrosesan atas Data Pribadi yang bersifat spesifik.

Baca Juga:

Kemudian, Pasal 53 menyatakan pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi wajib menunjuk pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi dalam hal kegiatan inti Pengendali Data Pribadi terdiri dari pemrosesan Data Pribadi dalam skala besar untuk Data Pribadi yang bersifat spesifik dan/atau Data Pribadi yang berkaitan dengan tindak pidana.

Rawan Kriminalisasi

Dalam artikel Hukumonline sebelumnya, Assistant Publik Lawyer LBH Pers, Mustafa Layong, menilai beleid yang baru disahkan pada Selasa (20/9/2022) ini masih memuat ketentuan yang dinilai bakal menghambat kerja-kerja masyarakat sipil terutama kalangan aktivis dan jurnalis. Misalnya, Mustafa menilai Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak memberi pengecualian penggunaan data pribadi untuk kepentingan publik, khususnya pemenuhan hak berekspresi dan mendapat data/informasi untuk kepentingan publik.

Hanya saja, pengecualian Pasal 15 ayat (1) UU PDP itu hanya untuk 5 hal. Pertamakepentingan pertahanan dan keamanan nasional. Kedua, kepentingan proses penegakan hukum. Ketiga, kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara. Keempat, kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara. Kelima, kepentingan statistik dan penelitian ilmiah.

Menurutnya, ketentuan itu berpotensi menghambat kerja aktivis dan jurnalis yang selama ini kerap mengungkap kasus atau berkaitan dengan kejahatan. Mustafa mengatakan Pasal 4 ayat (2) UU PDP mengatur 7 jenis data pribadi yang bersifat spesifik yakni data dan informasi kesehatan; biometrik; genetika; catatan kejahatan; data anak; data keuangan pribadi; dan/atau data lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Rumusan pasal tersebut hanya untuk kepentingan negara. Bagaimana dengan aktivis dan jurnalis? Misalnya, aktivis atau jurnalis yang menelusuri rekam jejak pejabat. Ketentuan itu bisa menjadi delik untuk menjerat pidana jurnalis (dan aktivis, red),” kata Mustafa dalam diskusi bertema “Pengesahan UU PDP: Babak Baru Perlindungan Data Digital”, Kamis (22/9/2022).

Bagi Mustafa, Pasal 4 ayat (2) UU PDP bermasalah karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “catatan kejahatan”. Ketentuan itu dapat dimaknai sangat luas, sehingga yang dimaksud subjek data termasuk para pejabat publik.

Kemudian Pasal 65 ayat (2) UU PDP juga rawan menjerat aktivis dan jurnalis karena tidak ada penjelasan rinci terhadap frasa “melawan hukum.” Ke depan diharapkan berbagai ketentuan itu dapat dijelaskan lebih rinci dalam peraturan pelaksana (aturan turunan dari UU PDP).

Mustafa mengingatkan sejak awal kalangan masyarakat sipil mengkritik proses pembahasan dan pengesahan UU PDP karena tidak memegang prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Masukan masyarakat sipil terhadap RUU PDP tidak dipertimbangkan secara baik pemerintah dan DPR.

Mengingat ada persoalan dalam UU PDP ini, Mustafa mengatakan salah satu pilihan yang bisa dipertimbangkan Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan uji materi UU PDP ke MK. “Perlu kajian yang lebih mendalam soal rencana uji materi itu apakah uji formil, materiil, atau keduanya.

Ia menyebut ada sejumlah substansi UU PDP yang dinilai bertentangan dengan UUD NKRI Tahun 1945 terutama terhadap hak untuk memperoleh, mencari, dan menyebarluaskan informasi publik. Begitu juga terhadap jaminan hak kebebasan berekspresi dan kerja-kerja pers yang dijamian UUD NKRI Tahun 1945 dan UU Pers.

Tags:

Berita Terkait