Perbaiki Rezim Pendaftaran HKI
Berita

Perbaiki Rezim Pendaftaran HKI

Pelaku usaha dan kalangan industri diminta memahami konsep hak kekayaan intelektual.

M-15
Bacaan 2 Menit
Perbaiki Rezim Pendaftaran HKI
Hukumonline

Kekayaan bangsa Indonesia merupakan aset utama dalam menjadi bekal untuk menyongsong persaingan global. Termasuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) 2015. Sayangnya, sebagian kekayaan berupa karya intelektual itu belum didaftarkan karena kurangnya kesadaran masyarakat dan pengusaha terhadap hak kekayaan intelektual (HKI).

“Kekayaan intelektual bangsa kita ini sudah dari dulu dipuja-puja bangsa lain,” ujar Dhaniswara K. Harjono, di sela diskusi ‘Kekayaan Intelektual Sebagai Aset Masa Depan Bangsa’ di Jakarta, Kamis (25/4) kemarin.

Ketua DPP Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Bidang Hukum dan Kelembagaan Dhaniswara ini mengakui konsep HKI masih sulit diterapkan dalam masyarakat. Masyarakat, termasuk pengusaha, terkadang pesimis menghadapi kenyataan bahwa mereka mengalami kerugian besar akibat pembajakan atau pelanggaran HKI.

Dhaniswara berpendapat masih banyak orang yang kurang menyadari kekayaan intelektual bangsa Indonesia sangat besar. Walhasil, banyak karya asal Indonesia ditiru, dijiplak, bahkan diklaim orang lain. Dalam hal ini, Dhaniswara mencoba introspeksi ke dalam.

Proses pendaftaran HKI yang relatif sulit dan lama membuat masyarakat enggan mendaftarkan ciptaan atau temuan mereka. Menurut hitung-hitungan Dhaniswara, dibutuhkan 14 bulan untuk menjalani semua proses pendaftaran. Karena itu, doktor bidang hukum bisnis ini berpendapat dibutuhkan terobosan dan inovasi untuk menata ulang proses pendaftaran HKI. “Kalau ini bisa dilakukan, dan kita rapikan maka bangsa ini bisa kaya raya dari HKI,” ujarnya.

Masalah dalam proses pendaftaran dirasakan juga pengusaha waralaba (franchise). Ketua Umum Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia, Levita Supit, menjelaskan proses pendaftaran waralaba di Kementerian Perdagangan tidak mudah. “Banyak anggota asosiasi kita yang mengeluh terkait kondisi di lapangan” ujar Levita.

Ia setuju dengan Dhaniswara, perlu pembenahan birokrasi pendaftan. Namun, pelaku usaha juga perlu memahami konsep HKI agar tidak terus menerus dirugikan. Temasuk pengetahuan pengusaha yang ingin terjun ke bisnis waralaba. Ada persyaratan dan aturan yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, tak semua bisnis diwaralabakan. Hanya bisnis yang sudah lewat lima tahun yang bisa diwaralabakan. Selain itu, harus ada cabang minimal tiga unit, dan bisnis itu prospektif. “Ini menjadi penting untuk diketahui agar para pelaku usaha yang ingin mewaralabakan usahanya, atau yang ingin membeli usaha dengan sistem waralaba tidak mudah tertipu dan dipersulit oleh Kementerian,” tutur Levita.

Bisnis waralaba di Indonesia sudah lama dilirik asing. Banyak pengusaha asing yang mulai membuka usaha di luar negeri dengan sistem usaha waralaba Indonesia. Peraturan Menteri Perdagangan tahun 2012 mengatur agar HKI waralaba didaftarkan ke Ditjen HKI. “Pelaku usaha perlu untuk mendaftarkan agar tidak ada pencurian ide usaha dari negara lain,” sambung Levita.

Kasus lain yang mengkhawatirkan saat ini adalah pembajakan di industri musik. Era digital telah memudahkan orang melakukan pembajakan. “Dalam satu hari, download musik di internet itu mencapai 16 juta, dengan kerugian di taksir 16 miliyar rupiah,” ujar Perwakilan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) Jusak Irwan Sutiono.

Industri musik dan rekaman harus mulai kreatif dan inovatif dalam menghadapi pelanggaran HKI. Sebab jika hal ini dibiarkan, maka dikhawatirkan tiga sampai empat tahun yang akan datang industri musik dan rekaman akan mati.

Dalam konteks itulah, konsultan HKI, Andrew Bethlen, mengajak pengusaha musik dan rekaman sadar HKI.  “Marilah seluruh pengusaha dan stake holder yang ada menghargai HKI, karena negara yang maju menghargai setiap kekayaan intelektual para pelaku usaha dan industri”, pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait