Peran Peradilan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia
Kolom

Peran Peradilan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia

Kini waktunya MA dan Komnas HAM saling melengkapi dan menguatkan dalam bingkai komitmen penegakan HAM tanpa harus mencampuri independensi masing-masing.

Bacaan 6 Menit
Munafrizal Manan. Foto: Istimewa
Munafrizal Manan. Foto: Istimewa

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Prof. Muhammad Syarifuddin berpesan kepada para hakim agar mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam mewujudkan keadilan yang sejati serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ini disampaikan saat pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Tidak Tetap Bidang Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 11 Februari 2021. Pesan humanis ini bernilai penting karena lembaga peradilan berperan strategis dalam penegakan hak asasi manusia (HAM).

Itu bukan pertama kalinya Ketua MA berbicara tentang HAM. Pada tiga kesempatan berbeda, Ketua MA juga menyoroti tugas dan fungsi lembaga peradilan dalam hubungannya dengan HAM. Tampaknya ada harapan praktik HAM di lembaga peradilan akan lebih maju di bawah kepemimpinan Ketua MA ke-14 ini.

Dalam diskusi publik virtual tentang “Persidangan Pidana Elektronik dan Implikasinya terhadap Hak Asasi Manusia”, 10 Desember 2020, Ketua MA menyatakan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik diberlakukan untuk membantu pencari keadilan menyelesaikan perkara di tengah Pandemi Covid-19 dengan tetap menghormati HAM. Perma E-Litigasi Pidana untuk menjamin perlindungan hak setiap orang dalam proses peradilan, khususnya hak-hak terdakwa. Mereka harus secepatnya mendapatkan kepastian hukum karena ada batas waktu penahanan terdakwa, dan hal ini berkaitan erat dengan HAM.

Saat webinar nasional “Mendorong Perwujudan Akomodasi yang Layak bagi Difabel dalam Proses Peradilan”, 27 Oktober 2020, Ketua MA mengatakan pengadilan lahir dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari konsep negara hukum dengan tujuan melindungi hak-hak setiap warga negara, tak terkecuali penyandang disabilitas. Kehidupan bernegara akan timpang jika hak-hak penyandang disabilitas diabaikan, dan mereka berhak atas tindakan afirmasi dari organ-organ negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada acara diskusi publik virtual “Peran Pengadilan dalam Melaksanakan Tanggung Jawab Hak Asasi Manusia”, 12 Oktober 2020, Ketua MA menegaskan lembaga peradilan mengemban tugas negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Para hakim dalam melaksanakan wewenangnya memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersinggungan dengan HAM harus senantiasa kembali ke hakikat HAM.

Sekiranya serangkaian pernyataan visioner Ketua MA merupakan komitmen serius dan terwujud secara riil, penegakan HAM akan lebih terjamin melalui peran lembaga peradilan di lingkungan MA. Ini sebetulnya mandat konstitusional yang juga harus diemban oleh cabang kekuasaan yudisial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai bagian dari proses penegakan hukum (integrated justice system), cabang kekuasaan kehakiman berperan krusial menegakkan HAM. Sebagai pengemban amanat menegakkan keadilan (court of justice), lembaga peradilan adalah benteng terakhir bagi para pencari keadilan (justiciabelen) untuk berharap hak asasi mereka direalisasikan negara. Lembaga peradilan melalui putusannya dapat memastikan HAM setiap orang dan setiap warga negara tidak dilanggar, baik oleh cabang kekuasaan negara dan aparat penegak hukum maupun oleh individu dan kelompok masyarakat. Singkatnya, meminjam kalimat Helle Krunke dan Martin Scheinin dalam buku Judges as Guardians of Constitutionalism and Human Rights (2016: 1), lembaga peradilan memainkan peran penting melindungi konstitusionalisme dan hak-hak fundamental individu.

Betapa sentralnya peran lembaga peradilan mengenai HAM terpatri jelas dalam The United Nations Basic Principles on the Independence the Judiciary (1985). Empat dari sembilan poin pertimbangan diadopsinya dokumen internasional ini mengacu pada HAM. Hal yang sama juga dikukuhkan dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), empat dari sembilan butir pertimbangan pada Pembukaan (Preamble) ialah tentang HAM.

Interrelasi lembaga peradilan dan HAM bersifat simbiosis mutualis. Peradilan yang fair dan equal oleh lembaga kompeten, independen, dan imparsial merupakan HAM yang dijamin Pasal 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Sementara implementasi penegakan HAM pada ujungnya bergantung pada peran lembaga peradilan melalui putusan hakim.

Dalam konteks itu saya teringat ceramah Presiden Mahkamah Agung Belanda, Maarten Feteris, berjudul The Role of the (Supreme) Court Judges in a State Governed by the Rule of Law, 24 Mei 2016. Ia menyatakan: “…compliance with these fundamental rights cannot be left to the legislative or executive power; in respect of these rights, there is a clear and spesific task for the judiciary. For example, the accused in a criminal case must be given a fair trial, even if the political majority and the government would prefer to see otherwise”. Jadi lembaga peradilan wajib steril dari bias politik yang mendistorsi dan mereduksi HAM.

Lembaga peradilan bertindak sebagai pengontrol aksi-aksi negara (legislatif dan/atau eksekutif). Kedua cabang kekuasaan negara ini mungkin melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan/atau pelanggaran hak asasi manusia (Helle Krunke dan Martin Scheinin, 2016: 5). Lembaga peradilan mesti tampil percaya diri sebagai pemeriksa dan penyeimbang (checks and balances) praktik kekuasaan legislatif dan eksekutif. Untuk itu, visi HAM Ketua MA perlu diwujudkan menjadi kebijakan konkret sehingga meminimalkan kesenjangan visi normatif dan situasi faktual yang terjadi di lembaga peradilan. Ada dua prioritas kebijakan yang perlu dilakukan.

Pertama, para hakim difasilitasi secara intensif dan berkelanjutan untuk memperoleh pengetahuan komprehensif dan mutakhir tentang dimensi luas HAM. Tidak semua hakim Indonesia akrab dengan HAM. Mereka tidak secara khusus dididik dan dilatih mendalami HAM. Materi HAM yang diperoleh hakim bersifat tambahan dan pelengkap. Padahal pentingnya pendalaman HAM tidak hanya untuk hakim yang bertugas di pengadilan HAM, tetapi juga bagi semua pelaku kekuasaan kehakiman.

Para hakim membutuhkan materi HAM untuk melaksanakan tugas yudisial, baik hakim yunior maupun hakim senior. Saat menjadi narasumber Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim diselenggarakan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung pada September 2018, saya menyaksikan para calon hakim memiliki kuriositas dan antusiasme tentang isu HAM berdimensi yudisial. Komnas HAM pun pernah menerima audiensi dari sejumlah hakim senior di kantor Komnas HAM untuk mendiskusikan isu HAM.

Kedua, putusan hakim pada setiap tingkat pengadilan harus kompatibel dengan prinsip HAM. Di samping harus memahami dimensi luas HAM (aspek kognitif), para hakim harus mengartikulasikan dan mengaksentuasikan prinsip HAM dalam putusannya (aspek afektif). Putusan hakim jangan sekadar menegakkan keadilan legal-formal, tetapi juga menegakkan keadilan berperikemanusiaan. Pekerjaan hakim bukan hanya pekerjaan praktis-teknis hukum, tetapi juga pekerjaan kemanusiaan. Sebagaimana sering dikemukakan Profesor Satjipto Rahardjo, “hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Artinya, para hakim sejatinya merupakan pembela HAM (human rights defenders).

Para hakim bukanlah corong undang-undang per se, yang disebut oleh filsuf Montesquieu dengan istilah la bouche de la loi. Tidak semua legislasi yang diproduksi oleh pembentuk undang-undang otomatis kompatibel dengan prinsip HAM. Undang-undang yang berstatus sebagai hukum positif (ius constitutum) belum tentu semua muatan materinya sesuai dengan prinsip HAM. Maka para hakim dapat mengenyampingkan penerapan norma hukum dalam undang-undang yang bertentangan dengan prinsip HAM.

Persis pada dua prioritas kebijakan itulah MA dan Komnas HAM RI perlu menginisiasi agenda kerja sama berspiritkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Lembaga peradilan dan Komnas HAM sama-sama bekerja bagi kepentingan pencari keadilan menurut lingkup wewenang masing-masing. Tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan berada dalam koridor Negara Hukum (the Rule of Law), yang menurut filsuf hukum terkemuka Friederich Julius Stahl (1802-1861) dan Albert Venn Dicey (1835-1922) salah satu prinsipnya ialah HAM. Sementara Komnas HAM dibentuk bertujuan “mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM” dan “meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM” (Pasal 75 UU No. 39 Tahun 1999). Merupakan “kebetulan” sejarah bahwa Ketua Komnas HAM pertama adalah mantan Ketua MA ke-7, yaitu Ali Said.

Pada level normatif, kewenangan Komnas HAM beririsan dengan kewenangan lembaga peradilan. Itu terdapat pada enam norma pengaturan yang tersebar di tiga pasal, yaitu Pasal 89 ayat (3) huruf f, Pasal 89 ayat (3) huruf g, Pasal 89 ayat (3) huruf h, Pasal 95, dan Pasal 96 ayat (4) dan (5) UU Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan ini berkaitan dengan fungsi penegakan HAM dalam bentuk pemantauan HAM dan mediasi HAM.

Dalam implementasi pemantauan HAM, pemanggilan untuk memberikan keterangan secara tertulis dan menyerahkan dokumen asli harus dengan persetujuan Ketua Pengadilan (Pasal 89 ayat (3) huruf f). Begitu juga dengan pemeriksaan tempat-tempat, pemberian pendapat terhadap perkara tertentu dalam proses peradilan, dan pemanggilan secara paksa (subpoena) untuk memberikan keterangan harus atas persetujuan Ketua Pengadilan (Pasal 89 ayat 3 huruf g dan huruf h dan Pasal 95). Dalam implementasi mediasi HAM, hasil mediasi yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dapat dimintakan eksekusinya (fiat executie) kepada Pengadilan Negeri setempat (Pasal 96 ayat (4) dan (5)).

Irisan kewenangan berbasis UU a quo hingga kini belum dijabarkan secara elaboratif menjadi pedoman praktis yang disusun bersama oleh MA dan Komnas HAM. Kini waktunya MA dan Komnas HAM saling melengkapi dan menguatkan dalam bingkai komitmen penegakan HAM tanpa harus mencampuri independensi masing-masing.

*)Munafrizal Manan adalah Wakil Ketua Komnas HAM RI; Alumnus Universiteit Utrecht dan The University of Melbourne.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait