Peran Peradilan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia
Kolom

Peran Peradilan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia

Kini waktunya MA dan Komnas HAM saling melengkapi dan menguatkan dalam bingkai komitmen penegakan HAM tanpa harus mencampuri independensi masing-masing.

Bacaan 6 Menit

Para hakim bukanlah corong undang-undang per se, yang disebut oleh filsuf Montesquieu dengan istilah la bouche de la loi. Tidak semua legislasi yang diproduksi oleh pembentuk undang-undang otomatis kompatibel dengan prinsip HAM. Undang-undang yang berstatus sebagai hukum positif (ius constitutum) belum tentu semua muatan materinya sesuai dengan prinsip HAM. Maka para hakim dapat mengenyampingkan penerapan norma hukum dalam undang-undang yang bertentangan dengan prinsip HAM.

Persis pada dua prioritas kebijakan itulah MA dan Komnas HAM RI perlu menginisiasi agenda kerja sama berspiritkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Lembaga peradilan dan Komnas HAM sama-sama bekerja bagi kepentingan pencari keadilan menurut lingkup wewenang masing-masing. Tugas pokok dan fungsi lembaga peradilan berada dalam koridor Negara Hukum (the Rule of Law), yang menurut filsuf hukum terkemuka Friederich Julius Stahl (1802-1861) dan Albert Venn Dicey (1835-1922) salah satu prinsipnya ialah HAM. Sementara Komnas HAM dibentuk bertujuan “mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM” dan “meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM” (Pasal 75 UU No. 39 Tahun 1999). Merupakan “kebetulan” sejarah bahwa Ketua Komnas HAM pertama adalah mantan Ketua MA ke-7, yaitu Ali Said.

Pada level normatif, kewenangan Komnas HAM beririsan dengan kewenangan lembaga peradilan. Itu terdapat pada enam norma pengaturan yang tersebar di tiga pasal, yaitu Pasal 89 ayat (3) huruf f, Pasal 89 ayat (3) huruf g, Pasal 89 ayat (3) huruf h, Pasal 95, dan Pasal 96 ayat (4) dan (5) UU Nomor 39 Tahun 1999. Pengaturan ini berkaitan dengan fungsi penegakan HAM dalam bentuk pemantauan HAM dan mediasi HAM.

Dalam implementasi pemantauan HAM, pemanggilan untuk memberikan keterangan secara tertulis dan menyerahkan dokumen asli harus dengan persetujuan Ketua Pengadilan (Pasal 89 ayat (3) huruf f). Begitu juga dengan pemeriksaan tempat-tempat, pemberian pendapat terhadap perkara tertentu dalam proses peradilan, dan pemanggilan secara paksa (subpoena) untuk memberikan keterangan harus atas persetujuan Ketua Pengadilan (Pasal 89 ayat 3 huruf g dan huruf h dan Pasal 95). Dalam implementasi mediasi HAM, hasil mediasi yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dapat dimintakan eksekusinya (fiat executie) kepada Pengadilan Negeri setempat (Pasal 96 ayat (4) dan (5)).

Irisan kewenangan berbasis UU a quo hingga kini belum dijabarkan secara elaboratif menjadi pedoman praktis yang disusun bersama oleh MA dan Komnas HAM. Kini waktunya MA dan Komnas HAM saling melengkapi dan menguatkan dalam bingkai komitmen penegakan HAM tanpa harus mencampuri independensi masing-masing.

*)Munafrizal Manan adalah Wakil Ketua Komnas HAM RI; Alumnus Universiteit Utrecht dan The University of Melbourne.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait