Peran dan Relasi Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Pengungsi
Kolom

Peran dan Relasi Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Pengungsi

Sudah menjadi kebutuhan yang mendesak perubahan Perpres Pengelolaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia yang menjadikan Indonesia dapat memainkan perannya lebih besar.

Bacaan 5 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Konsistensi Indonesia untuk tetap menghormati prinsip global non-refoulement dan diikuti kebijakan kemanusiaan yang memberikan perlindungan dan penempatan kepada para pengungsi luar negeri patut mendapatkan apresiasi. Setidaknya pasca krisis Laut Andaman bulan Mei 2015 tidak mengherankan Indonesia mendapatkan apresiasi baik dari banyak negara, karena pola penanganan pengungsi Rohingya di Aceh.

Penanganan ini juga tidak lepas peran dan relasi yang dibangun bersama lembaga internasional, yaitu terutama dengan UNHCR dan IOM, selain juga organisasi masyarakat sipil. Meskipun Indonesia bukan negara pihak yang menandatangani Konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951 dan protokol 1967, tetapi Indonesia tetap konsisten dengan kebijakan humanitarian yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Pengungsi dari Luar Negeri di Indonesia.

Satu penggalan penanganan pengungsi di atas, ternyata belum mampu sepenuhnya menggambarkan perjalanan panjang penanganan pengungsi di wilayah Indonesia. Indonesia sebagai negara transit saat ini menghadapi situasi pengungsi yang kompleks, menjadi tidak mudah dan semakin hari akan semakin sulit dapat menegakkan kebijakan kemanusiaan yang berlandaskan HAM, apabila pengaturannya lebih banyak diserahkan kepada lembaga Internasional maupun organisasi masyarakat sipil internasional.

Saat ini sudah menjadi kebutuhan yang mendesak perubahan Perpres Pengelolaan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia yang menjadikan Indonesia dapat memainkan perannya lebih besar, yang berlandaskan pada penegakan HAM dan sekaligus pemaknaan menjaga kedaulatan Indonesia.

Memaknai Mandat Global

Keberadaan UNHCR dan IOM di Indonesia bukan sekadar karena adanya MoU dengan pemerintah Indonesia ketika masa pengungsi “manusia perahu” dari Indocina, yang masuk ke Indonesia pada tahun 1976-an, tetapi merupakan mandat yang diemban dalam Global Compact on Refugee (GCR).

Dukungan pelibatan lembaga internasional suatu hal yang dimandatkan dalam penanganan pengungsi di suatu wilayah atau negara. Namun demikian, di sisi lain, kompleksitas dan karakteristik sebaran penampungan pengungsi di Indonesia menjadikan perlu dilakukan evaluasi setiap peran yang terkait. 

Sementara itu, membicarakan kedaulatan negara dalam kerangka relasi internasional adalah suatu yang menarik untuk disikapi dan dimaknai. Definisi kedaulatan negara terus berkembang sejalan dengan perkembangan global, setidaknya adalah hal yang terlalu sederhana bila membicarakan kedaulatan negara hanya terkait dengan masalah teritori suatu negara.

Henrikson dalam tulisannya ‘Sovereignty, Diplomacy and Democracy’ (2014) menjelaskan bahwa kekuatan universalitas dimiliki sebagai kemampuan untuk menundukkan semua entitas di wilayah tertentu, yang dalam hal ini di wilayah negara Indonesia.

Kedua, adanya standar hukum yang diikuti dan dipatuhi. Oleh karena itu, kewenangan negara Indonesia menjadi hal yang pokok dalam upaya mengelola dan dan sekaligus ditaati yang dilandasi dengan kebijakan kemanusiaannya yang secara internal maupun eksternal dilakukan pengaturan perannya, dalam hal ini lembaga internasional yang mendapat mandat mengurus pengungsi.

Memaknai mandat global yang diimplementasikan di negara Indonesia, sebenarnya dalam beberapa hal telah dimainkan perannya oleh pemerintah maupun lembaga internasional. Setidaknya dari sisi UNHCR telah melakukan pemrosesan penempatan dari Indonesia ke negara ketiga dapat mencapai sekitar 5 persen, yang mana prosentase itu jauh di atas rata-rata global yang hanya sekitar 1 persen (UNHCR, 2021).

Di sisi lain, pemerintah Indonesia sudah lebih maju dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya yaitu dengan telah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Pengungsi dari Luar Negeri. Di sini Perpres adalah upaya menjaga kepentingan Indonesia dengan pengaturannya dibangun dalam prakarsa pemerintah Indonesia.

Kesempatan Penguatan Peran Pemerintah Indonesia

Kompleksitas persoalan atau praktik penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia, mulai dari penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian menjadikan Perpres tersebut tidak mencukupi. Perpres tersebut sudah mengembangkan prosedur yang cukup rinci bagi pemerintah pusat, namun belum untuk para pihak lainnya.

Terlebih lagi dalam kerangka landasan HAM ternyata masih perlu pengaturan hak-hak dasar pengungsi sebagaimana komitmen global Indonesia. Oleh karena itu, perubahan atas Perpres No. 125 Tahun 2016 yang telah diwacanakan oleh pemerintah, merupakan kesempatan yang baik untuk lebih menguatkan peran pemerintah Indonesia dalam pengelolaan pengungsi di Indonesia.

Membangun perubahan kebijakan yang lebih menekankan pada pemenuhan hak-hak dasar pengungsi sebenarnya bukan hal yang sulit, namun tantangan terbesarnya ada pada paradigma yang terpatri selama ini.

Paradigma pengungsi lebih merupakan tugas UNHCR maupun lembaga internasional lainnya terbangun sejak tahun 1978-1990-an pengungsi “manusia perahu” yang sebagian besar dari Vietnam eksodus ke negara-negara Asia Tenggara, terutama ke Malaysia, Indonesia dan Filipina.

Masuknya mereka ke Indonesia dan dibangun penampungan bagi mereka dapat dikatakan kekuatan besar Amerika Serikat dan 15 negara lainnya yang telah memungkinkan adanya tempat penampungan di beberapa negara, karena adanya kesepakatan Comprehensive Plan of Action (1989) yang disepakati oleh 70 negara.

Kesepakatan itu terjadi setelah adanya Konferensi di Jenewa (1979) dan memberikan mandat yang besar kepada UNHCR mengatur seluruhnya. Keadaan waktu itu membawa pengaruh besar cara pandang bahwa pengungsi yang masuk ke wilayah teritori negara Indonesia sepenuhnya tanggung jawab UNHCR, setidaknya peran Indonesia hanya memberikan izin dan bantuan lokasi. Cara pandang ini bukan hanya berpengaruh pada level nasional, tetapi juga pada level pemerintah di daerah atau lokal.

Tentu keadaan waktu itu, tidak bisa disamakan dengan keadaan sekarang, Indonesia dihadapkan pada situasi protracted refugee situation dengan keberadaan mereka tidak hanya di satu wilayah, tetapi tersebar di banyak wilayah di Indonesia dan banyak yang berbaur dengan masyarakat lokal, ada yang berkembang secara positif, tetapi juga tidak kurang masyarakat yang memberikan respon negatif. Di sini, besar tantangan pemerintah Indonesia untuk menentukan implementasi kebijakan kemanusiaan, tanpa mengabaikan kepentingan nasionalnya.

Tantangan Peningkatan Berbagai Peran dan Relasi

Besar tantangan ke depan dalam upaya perubahan Perpres No. 125 Tahun 2016. Ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan untuk peningkatan berbagai peran dan relasi yang dibangun, sehingga Indonesia dapat mendudukan masalah pengungsi luar negeri secara tepat dalam kerangka nasional.

  1. Mandat Global Compact on Refugees adalah mendorong pembagian tanggung jawab yang lebih dapat diukur dan adil dengan solusi berkelanjutan untuk situasi pengungsi, sehingga lembaga internasional adalah mitra dengan pengaturan pembagian peran yang tepat.
  2. Adanya pengaturan kewenangan dengan mekanisme kerja, yang memperhitungkan peran dan relasi para pihak (pemerintah pusat- daerah, lembaga internasional, lembaga nasional, organisasi masyarakat sipil, masyarakat, lembaga donatur) dengan dilandaskan pada penghormatan pada HAM.
  3. Perubahan peraturan yang juga memperhitungkan pengaturan sektoral, terutama terkait dengan akses kesehatan, pendidikan dan livelihood.
  4. Memperhitungkan kearifan lokal di beberapa wilayah, yang akan mempengaruhi relasi sosial pengungsi dengan masyarakat lokal.
  5. Perubahan dilakukan dengan didasarkan pada evidance based policy, artinya penting ada kontribusi riil dari para akademisi mendorong dan membantu pemerintah dan masyarakat dalam upaya mendapatkan alternatif-alternatif penyelesaian masalah pengungsi di dalam negeri Indonesia.

Membangun trust dan sense of belonging para pihak akan dapat mengurangi praktik-praktik buruk, termasuk kejahatan lintas negara maupun tindak pidana kekerasan di antara pengungsi. Di samping juga, menjadikan terbuka potensi peningkatan peran dan relasi para pihak, khususnya pemerintah dengan dukungan lembaga internasional pada penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia.

*)Prof. Tri Nuke Pudjiastuti adalah Peneliti Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional dengan focus pada Forced Migration, ASEAN dan Perbatasan.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait