Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?
Kolom

Peradilan Etika Pemilu: Really? Seriously?

Perlu diadakan forum peradilan permanen untuk mengadili anggota KPU melalui lembaga ajudikasi formal yang dibentuk sesuai perintah konstitusi.

Bacaan 8 Menit

Kedua, kalaupun ada kebiasaan yang conventional di dalam lingkup Pemilu, kira-kira kebiasaan apa yang dapat diterima sebagai nomos, sehingga sekualitas misalnya dengan kebiasaan ketatanegaraan yang lazim dikenal dalam tradisi ketatanegaraan Indonesia? Kita tahu dalam tradisi ketatanegaraan kita, ada satu kebiasaan yang tidak pernah dituliskan di dalam konstitusi, yakni: pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia setiap 16 Agustus. Apakah ada kebiasaan “kepemiluan” yang sekualitas dengan pidato tersebut?

Ketiga, andaikan saja ada kebiasaan “kepemiluan”, apakah kebiasaan seperti itu lantas kemudian dirumuskan ke dalam peraturan yang mengikat, seperti Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum (Pedoman DKPP)? Apabila dirumuskan ke dalam peraturan yang mengikat, apakah masih ada kebiasaan “kepemiluan”?

Hart tidak menampik bahwa moral –bukan etika– dapat masuk ke dalam ranah hukum. Namun sekali moral masuk ke dalam ranah hukum, maka moral tersebut sudah menjelma menjadi hukum. Tidak ada lagi moral di dalam hukum. Contoh yang paling sering saya gunakan untuk menggambarkan maksud Hart; majelis hakim dapat memberikan alasan yang meringankan ketika hendak menjatuhkan putusan. Alasan itu bisa berupa alasan kemanusian, seperti usia terdakwa yang sudah sepuh. Ketika pertimbangan itu diwujudkan ke dalam putusan, maka yang ada hanyalah dokumen peradilan. Putusan itu bukan dokumen moral.

Keempat, kalaupun ada kode etik yang dikenal dalam profesi advokat, dokter dan lainnya, apakah subjek-subjek profesional itu lahir karena perintah konstitusi? Dengan kata lain, apakah subjek-subjek profesional itu memang memiliki kebiasaan habitual, yang mungkin dikodifikasi (kode etik profesi) menjadi autonomic legislation? Pedoman DKPP jika dipaksakan setara dengan kode etik profesi, apakah status Pedoman DKPP adalah autonomic legislation, mengingat kode etik profesi secara teoritis disebut autonomic legislation? Dengan kata lain, apakah DKPP adalah private entity seperti profesi dokter atau advokat? Apakah artinya juga jabatan-jabatan di dalam KPU adalah jabatan private, bukan jabatan publik?

Kelima, katakanlah pengertian tentang ethos dan nomos ditinggalkan, dan hanya berpatokan pada Pedoman DKPP, ada beberapa persoalan yang masih mengganjal, di antaranya;

  1. Dalam Pasal 456 Undang-Undang Pemilu, pelanggaran etika diukur diukur berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menyelenggarakan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu. Dalam sumpah dan/atau janji itu tidak ada sama sekali rumusan tentang kode etik, sehingga Penyelenggara Pemilu hanya terikat pada peraturan perundang-undangan. Pertanyaannya: apakah Pedoman DKPP adalah pedoman etika atau justru bagian dari peraturan perundang-undangan?
  2. Dalam Pedoman DKPP, profesionalitas penyelenggaraan Pemilihan Umum berpedoman salah satunya pada prinsip berkepastian hukum. Apakah prinsip kepastian hukum adalah prinsip etika? Dalam beberapa putusan DKPP bahkan mendalilkan argumentasinya berdasarkan ide kepastian hukum. Sekali lagi, apakah kepastian hukum adalah agenda etika?
  3. Apakah suatu pelanggaran etika dapat dirumuskan ke dalam suatu putusan yang final dan mengikat sebagaimana diatur dalam UU Pemilu? Sifat final dan mengikat adalah ciri paradigmatis hukum, bukan etika. Seperti telah dikatakan oleh Hart, sekali moral –bukan etika– masuk ke dalam hukum, maka yang ada hanyalah hukum. Menggunakan perspektif Hartian tersebut, apakah etika yang masuk ke dalam suatu putusan DKPP disebut sebagai dokumen hukum?
  4. Ciri paradigmatis hukum ini makin nampak ketika putusan DKPP perlu dikuatkan melalui instrumen keputusan presiden. Putusan DKPP pemberhentian Anggota KPU misalnya, mesti dikuatkan dengan Keputusan Presiden. Masalahnya, setiap Keputusan Presiden secara yuridis dapat dijadikan objek gugatan dalam PTUN. Jika demikian, apakah yang dihasilkan oleh DKPP adalah etika atau hukum? Jika etika, mengapa tidak seperti organisasi profesi; putusan tentang pelanggaran kode etik mereka tidak perlu dikuatkan oleh Presiden?

Seluruh problem kritis di atas semestinya membawa pada suatu pertanyaan akhir: apakah kita mengharapkan pejabat-pejabat di KPU memiliki kebiasaan habitual, karena adanya aspek etika dalam penyelenggaraan pemilihan umum? Ini artinya apakah kita mengharapkan pejabat-pejabat KPU diperbolehkan memiliki kebiasaan yang alamiah, yang secara potensial akan mungkin bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan?

Tags:

Berita Terkait