Penyusunan Omnibus Law Tetap Mengacu UU Pembentukan Peraturan
Berita

Penyusunan Omnibus Law Tetap Mengacu UU Pembentukan Peraturan

Persoalannya, dalam UU 12/2011 tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Peraturan: BAS
Ilustrasi Peraturan: BAS

Sejumlah pihak pernah mengkritik kebijakan pemerintah terkait mekanisme sejumlah RUU Omnibus Law demi menggenjot pertumbuhan ekonomi. Salah satunya, LBH Jakarta yang menganggap revisi sejumlah UU omnibus law tidak sesuai sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. LBH menilai omnibus law ini tidak punya landasan (dasar) hukum.

 

LBH menilai UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbarui UU No.15 Tahun 2019 tidak mengatur mekanisme omnibus law. Karena itu, penyusunan RUU omnibus law seharusnya taat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Jika tidak, berpotensi menimbulkan masalah baru.

 

Timbul pertanyaan, bagaimana proses pencabutan atau penarikan pasal-pasal UU lain yang terkena omnibus law? Jika pasal-pasal yang ditarik/dicabut dalam omnibus law berubah isinya, bagaimana status pasal yang dicabut (dihapus) itu di UU asalnya?  

 

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengakui penyusunan RUU omnibus law mendapat sorotan banyak pihak. Salah satunya, aturan yang digunakan dalam proses penyusunan draf RUU omnibus law yakni RUU Ibukota Negara, RUU Cipta Lapangan Kerja, dan RUU Perpajakan.   

 

Dia menegaskan metode penyusunan tiga RUU omnibus law tetap mengacu UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diperbaharui dengan UU No.15 Tahun 2019. Dia menilai teknis pencabutan pasal-pasal dari sejumlah UU yang berstatus masih berlaku atau sebaliknya (tidak berlaku) tetap menggunakan cara yang sederhana.

 

“Jadi kalau kita berpikir complicated ya jadi complicated. Tapi kalau kita berpikir solutif ya solutif. Jadi mengacu pada UU 12/2011, terus apalagi acuannya?” ujar Willy kepada Hukumonline di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (28/1/2020). Baca Juga: RUU Omnibus Law Dinilai Tak Punya Pijakan Hukum

 

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu menjelaskan ketika terdapat penarikan pasal dari UU tertentu ke dalam UU omnibus law, maka yang berlaku adalah pasal dalam omnibus law. Sementara UU di luar omnibus law tetap berlaku. Kata lain, metode omnibus law hanya bersifat memindahkan, merevisi, atau menghapus pasal-pasal dalam UU tertentu di luar omnibus law.

 

“Tetapi, omnibus law tidak menggugurkan (mencabut, red) UU sebelumnya. Cuma (menghapus/memindahkan/merevisi, red) kewenangan-kewenangan dan aturan-aturannya saja,” kata dia.

 

Dia mengimbau kepada masyarakat agar berpikir sederhana terhadap omnibus law sambil memantau proses pembahasannya di DPR. Melalui omnibus law, diyakini dapat menyelesaikan berbagai persoalan agar dapat keluar dari krisis. Mulai soal aturan perizinan yang tumpang tindih, kemudahan investasi, lapangan pekerjaan, hingga perpajakan. “Sebenarnya simple.”

 

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Prof Benny Riyanto mengatakan omnibus law sebuah metode dalam proses legislasi atau penyusunan regulasi, bukan jenis peraturan perundang-undangan. Karena itu, proses pembentukan legislasinya sesuai UU 12/2011 sebagaimana diperbaharui dalam UU 15/2019. “Omnibus law itu kalau mau kita bahas segera, (prosedurnya, red) harus masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas dulu, dan itu sudah masuk,” ujarnya mencontohkan.

 

Menurut dia, pijakan hukum dalam menyusun naskah akademik dan draf RUU omnibus law mengacu UU 12/2011. Sebab, UU 15/2019 tidak merevisi tentang tata cara penyusunan pembuatan peraturan perundang-undangan. “Itu sebabnya, pembuatan RUU dengan metode omnibus law tetap menggunakan UU 12/2011. Penyusunan masih menggunakan UU 12/2011 dimana itu ada syarat substantif dan syarat teknis, jadi tidak berubah,” katanya.

 

Misalnya, Pasal 44 UU 12/2011 mengatur mekanisme penyusunan naskah akademik dan Pasal 45 mengatur tentang RUU yang diusulkan presiden dan DPR disusun berdasarkan daftar prolegnas. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan, “Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. Ayat (2)-nya menyebutkan, “Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”  

 

Sementara Pasal 45 ayat (1) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan UndangUndang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.” Hanya saja, dalam UU 12/2011 memang tidak mengatur secara jelas mekanisme tata cara pencabutan, pemindahan, perubahan pasal-pasal dari sejumlah UU yang masuk dalam RUU omnibus law.  

 

Namun, pengaturan tata cara penyusunan RUU diatur melalui Peraturan DPR No.2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang. Seperti Pasal 23 ayat (1) menyebutkan, “Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang meliputi: a. aspek teknis; b. aspek substansi; c. aspek pembentukan peraturan perundang-undangan.”

 

Ayat (2)-nya menyebutkan, “Aspek teknis sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a mencakup kajian rancangan undang-undang berdasarkan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan.” Sementara ayat (3) menyebutkan, “Aspek substansi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b mencakup kajian rancangan undang-undang terkait kesesuaiannya dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, dan undang-undang.”

 

Jadi (omnibus law, red) itu kan masuk prolegnas prioritas, syaratnya adanya naskah akademik dan draf RUU itu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait