Catatan YLBHI-PSHK Terkait Penyusunan DIM RUU TPKS
Utama

Catatan YLBHI-PSHK Terkait Penyusunan DIM RUU TPKS

Materi DIM yang disusun pemerintah semestinya disodorkan ke masyarakat sipil agar mudah memetakan dan memberikan masukan secara detail, serta melengkapi dan menajamkan materi RUU TPKS sebelumnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Harapan agar proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dapat terbuka sejak awal belum terwujud. Meskipun pemerintah melalui Tim Gugus Tugas telah melibatkan jaringan masyarakat sipil dan akademisi dalam proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TPKS, namun dalam praktiknya belum sepenuhnya terbuka.

“Pelaksanaan melibatkan jaringan masyarakat sipil, naskah DIM yang sedianya akan dijadikan pokok bahasan utama tidak ditunjukkan dalam bentuk dokumen ataupun tayangan/presentasi yang dapat kami lihat poin-poin yang disampaikan,” ujar Staf Bidang Riset dan Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Syafirah Hardani melalui keterangan tertulis, Minggu (6/2/2022).

Sebagai bagian dari jaringan masyarakat sipil, YLBHI prinsipnya mengapresiasi Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS melibatkan publik dalam penyusunan DIM RUU TPKS yang digelar secara hybrid. Sayangnya, selain tidak menunjukan dokumen atau bahan presentasi, para pemateri yang terdiri dari perwakilan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian-PPPA), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Polri hanya menyampaikan poin-poin yang ada dalam DIM secara verbal.

Hal tersebut menjadi sulit bagi jaringan masyarakat sipil untuk melihat poin per poin DIM yang telah disusun beberapa hari sebelumnya. Terhadap hal tersebut, YLBHI menilai sejumlah poin yang menjadi kritik terhadap pelaksanaan konsultasi publik tersebut. Pertama, masyarakat sipil yang dilibatkan tanpa mengetahui persis DIM yang telah disusun pemerintah.

“Ini agar masukan/informasi yang diberikan masyarakat sipil tidak tumpang tindih atau bertentangan dengan DIM sendiri,” ujarnya.

Kedua, Syarifah memahami pemerintah yang berpendirian DIM tak dapat dipublikasikan ke publik. Namun setidaknya poin-poin yang disampaikan dapat dipaparkan secara jelas, gamblang, dan tervisualisasi dengan baik. “Kalau hanya menyampaikan DIM secara verbal berujung menyulitkan dalam memetakan poin-poin dalam DIM.”

Ketiga, DIM merupakan dokumen penting dalam penyusunan sebuah RUU sebagai acuan poin pembahasan antara DPR dengan pemerintah. Masyarakat sipil pun memiliki kepentingan untuk mengetahui DIM yang disusun pemerintah untuk memahami substansi yang akan menjadi rekomendasi jaringan masyarakat sipil.

“Kami meminta pemerintah untuk tidak memfinalkan DIM RUU TPKS secara terburu-buru. Sebelum memberikan kepada DPR sebaiknya membuka DIM kepada publik untuk dapat dibahas bersama melalui konsultasi publik kedua,” ujarnya.

(Baca Juga: Catatan ILUNI FH UI untuk Penguatan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual)

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan informasi yang didapat DIM yang telah disusun pemerintah tak boleh disebar terlebih dahulu dengan alasan belum adanya surat presiden. Dalam menyikapi persoalan ini, PSHK memiliki tiga catatan penting.

Pertama, strategi pemerintah dinilai membingungkan. Dia menilai terdapat pertanyaan besar dalam tujuan apa pemerintah meminta masukan masyarakat sebagai upaya melengkapi dan mempertajam DIM yang telah dibuat sebelumnya. Bila masukan publik untuk melengkapi DIM, momentum sebelum presiden melayangkan surat presiden ke DPR beserta DIM menjadi tepat. Sebaliknya bila DIM belum dibagikan ke jaringan masyarakat sipil dengan alasan belum adanya surat presiden menjadi tidak tepat.

“Jadi tujuannya seolah justru menempatkan masukan masyarakat ini di luar DIM yang sudah disusun oleh pemerintah,” ujarnya.

Kedua, DIM sekedar alat mewadahi masukan publik terhadap RUU TPKS yang ada. Namun dokumen yang jauh lebih penting terdapat draf RUU dan naskah akademik. Bila pemberian masukan publik berbasis pada DIM, maka proses informasi dan komunikasi menjadi lebih efektif antara masyarakat dan pemerintah

Bagi Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu bila terdapat DIM dari pemerintah sebelum memberikan masukan, masyarakat menjadi lebih memahami sikap pemerintah terhadap pasal-pasal tertentu sebagaimana tertuang dalam draf RUU TPKS yang dibuat DPR. Dengan begitu harapannya terjadi dialog yang efektif, bukan hanya memberikan masukan searah.

Ketiga, secara prinsip, ruang partisipasi harus dibangun dimulai komitmen terhadap transparansi. Menurutnya, masyarakat harus diberikan informasi selengkap mungkin terkait materi RUU TPKS secara gamblang dan menyeluruh untuk kemudian diminta masukannya. Selanjutnya, masukan dari masyarakat direspon DPR atau pemerintah. Bila masukan publik tidak diterima, maka menjadi keharusan pemerintah atau DPR memberikan alasan penolakannya secara rasional.

“Hal itu yang saat ini sudah digariskan dalam putusan MK perihal partisipasi masyarakat yang bermakna sebagai amanat Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020,” katanya.

Sebelumnya, Tim Gugus Tugas Percepatan RUU RUU TPKS telah merumuskan 623 DIM sebagai respon atas penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Ketua Tim Gugus Tugas RUU TPKS Eddy O.S Hiariej menyampaikan ini, saat diskusi publik pembahasan DIM RUU TPKS, Jum'at (4/2/2022). 

"Banyak substansi baru dalam DIM. Tentunya DIM pemerintah ini masih butuh banyak masukan dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi," kata Eddy dalam keterangannya.

Seperti diketahui, sebelumnya Tim Gugus Tugas RUU TPKS telah melakukan konsinyering pembahasan DIM sebagai tindak lanjut atas penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR. Untuk menyempurnakan substansi DIM yang akan menjadi lampiran Surat Presiden (Surpres) ke DPR, Kantor Staf Presiden bersama Tim Gugus Tugas menggelar diskusi publik dengan melibatkan koalisi masyarakat sipil dan akademisi. 

Eddy yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM menjelaskan, secara substansi DIM RUU TPKS yang disusun pemerintah mencakup soal hukum acara pidana hingga penanganan dan rehabilitasi korban. "Unggulan DIM RUU TPKS, ada pada hukum acara yang sangat progresif dan advance. Sebab sebelumnya dari ribuan kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, penyelesaiannya hanya kurang dari 5 persen. Berarti ada masalah pada hukum acaranya. Nah ini yang diperbaiki," tutur Eddy. 

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko mengajak koalisi masyarakat sipil dan akademisi untuk bersama-sama memberikan masukan-masukan yang konstruktif demi kesempurnaan DIM RUU TPKS. "Saya meyakini dengan diskusi publik rumusan DIM RUU TPKS akan menjawab segala persoalan terkait kekerasan seksual," tegas Moeldoko. 

Panglima TNI 2013-2015 itu juga meminta semua pihak ikut mengawal RUU TPKS agar segera disahkan dengan pasal-pasal yang menjawab keadilan bagi korban. 

Terus menampung masukan publik

Sementara itu, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan pemerintah bakal terus menampung masukan masyarakat terkait RUU TPKS. Dia memastikan sudut pandang yang digali dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi melalui konsultasi publik mendapat perhatian serius. Hasilnya bakal dikaji mendalam sebagai bagian dari proses penyusunan DIM dari pemerintah.

“Kami ingin semua pihak turut serta dan aktif menyempurnakan substansi RUU TPKS,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

Perempuan yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS itu menilai kementerian/lembaga telah menyiapkan skema tindak lanjut dalam mendukung implementasi RUU TPKS ke depannya. Seperti kajian pembentukan direktorat khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kemudian Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai one-stop service bagi korban kekerasan seksual. Menurutnya, proses penyusunan DIM pun dikoordinasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga serta perwakilan kelompok masyarakat sipil dan akademisi.

“Kami dari pemerintah mengucapkan terima kasih terhadap kawan-kawan masyarakat sipil dan akademisi.”

Sebagaimana diketahui, RUU TPKS telah resmi menjadi usul inisiatif DPR. RUU tentang TPKS masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2022 dengan nomor urut 14. Dalam perjalanannya, RUU TPKS sempat terjadi tarik-ulur dalam proses perumusannya di internal DPR. Namun, belum lama ini, palu diketuk dalam rapat paripurna yang mengesahkan RUU TPKS menjadi usul inisiatif DPR.

Tags:

Berita Terkait