Penyuap Panitera PN Jakpus Terima Vonis Hakim
Berita

Penyuap Panitera PN Jakpus Terima Vonis Hakim

Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno yang juga asisten dari Presiden Komisaris Lippo Grup Eddy Sindoro menerima putusan hakim yang memvonisnya empat tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan bui.

ANT | Sandy Indra Pratama
Bacaan 2 Menit
Doddy merupakan terdakwa untuk kasus suap Panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Doddy merupakan terdakwa untuk kasus suap Panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Pegawai PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno yang juga asisten dari Presiden Komisaris Lippo Grup Eddy Sindoro menerima putusan hakim yang memvonisnya empat tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan.
"Kami menerima putusan, keputusan banding atau tidaknya ada pada Pak Doddy dan beliau menerima putusan tersebut," kata pengacara Doddy, Ani Andriyani saat dikonfirmasi melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu.
Pada Rabu (14/9), majelis hakim yang diketuai oleh Sumpeno dengan anggota majelis Sinung Hermawan, Yohanes Priyana, Sigit dan Tuti menyatakan bahwa Doddy terbukti menyuap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution sebesar Rp150 juta untuk mengurus tiga perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakpus sehingga harus menjalani hukuman penjara selama 4 tahun ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan.
Namun pada pembacaan vonis tersebut baik penasihat hukum maupun jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari sehingga hari ini adalah batasan keputusan apakah menerima atau mengajukan banding terhadap vonis. (Baca juga: Penyuap Panitera PN Jakpus Divonis 4 Tahun)
Vonis itu sesungguhnya lebih rendah dari tuntutan jaksa yang meminta agar Doddy divonis penjara selama 5 tahun ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Doddy dalam perkara tersebut menyuap Edy Nasution atas suruhan Eddy Sindoro untuk untuk melancarkan tiga perkara yang dihadapi Lippo Group di PN Jakarta Pusat yaitu pertama agar menunda proses pelaksanaan 'aanmaning' (peringatan) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan imbalan Rp100 juta, kedua dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) perkara Niaga PT Across Asia Limited (AAL) melawan PT First Media meski sudah melewati masa waktu mengajukan PK dan untuk mengubah jawaban PN Pusat dalam permohonan eksekusi tanah PT Jakarta Baru Cosmopolitan dengan imbalan Rp50 juta.
PT MTP, PT AAL dan PT Jakarta Baru Cosmopolitan adalah tiga anak perusahaan Lippo Grup. (Baca Juga: Pansek PN Jakpus Tersangka, KPK Sebut Ini Pembuka Kasus Besar)
"Sebenarnya kami menilai pertimbangan hakim kemarin banyak yang keliru terutama fakta-fakta tentang maksud dan tujuan penyerahan uang, seperti menurut hakim terbukti ada penyerahan uang Rp100 juta yang faktanya tidak pernah ada. Lalu penyerahan uang Rp50 juta untuk kado pernikahan anaknya Pak EN (Edy Nasution) sama sekali tidak dipertimbangkan majelis," tambah Ani. 
Namun menurut Ani, ia menyerahkan keputusan akhir kepada kliennya. "Tapi balik lagi ke klien kami, beliau menerima putusan tersebut, meksi tim penasihat hukum berat hati menerima putusan itu," ungkap Ani.
Sedangkan JPU KPK Fitroh Rochcahyanto menyatakan mengajukan banding karena masa tahanan Doddy sudah habis. "Pada prinsipnya kami menerima putusan, tapi karena masa tahanan habis sebelum masa pikir-pikir habis maka kami menyatakan banding supaya terdakwa tidak keluar demi hukum," kata Fitroh saat dikonfirmasi.
Namun ia menyatakan masih akan menunggu sampai besok karena secara yuridis masa pikir-pikir masih tersisa hingga malam ini. (Baca Juga: Panitera PN Jakpus Didakwa Urus Tiga Perkara Dibantu Nurhadi)
Pada perkara pertama, berdasarkan putusan Singapore International Arbitration Center (SIAC) tertanggal 1 Juli 2013, PT MTP melakukan wanprestasi dan wajib membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar 11,1 juta dolar AS.
Namun PT MTP belum melakukan kewajibannya sehinga PT KYMCO pada 24 Desember 2013 mendaftarkannya ke PN Jakpus agar segera dieksekusi. Atas pendaftaran tersebut PN Jakpus menyatakan putusan SIAC dapat dieksekusi di Indonesia. Namun PT MTP tidak hadir saat dipanggil PN Jakpus pada 1 September 2015 sehingga dipanggil ulang pada 22 Desember 2015.
Eddy memerintahkan bagian legal PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti untuk mengupayakan penundaan 'aanmaning'. Wresti pun pada 14 Desember menemui Edy Nasution pada 14 Desember 2015 dan meminta penundaan.
Atas permintaan itu Edy Nasution mendapatkan uang Rp100 juta yang dikeluarkan Direktur PT MTP Hery Soegiarto. uang diberikan oleh Doddy kepada Edy Nasution pada 18 Desember di Basement Hotel Acacia Senen Jakarta Pusat.
Perkara kedua, terkait pengajuan PK perkara Niaga PT AAL melawan PT First Media. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung 31 Juli 2013 PT AAL dinyatakan pailit. (Baca Juga: Merangkai Kepingan “Puzzle” Nurhadi, Bos Paramount, dan Lippo Group)
Atas putusan kasasi tersebut hingga batas waktu 180 hari PT AAL tidak melakukan upaya PK. Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hong Kong, Eddy Sindoro pada pertengahan Februari 2016 memerintahkan Wresti melakukan pengajuan PK meski waktunya sudah lewat.
Wresti menemui Edy Nasution pada 16 Februari untuk menerima pendaftaran PK PT AAL dan menawarkan sejumlah uang sehingga pada 30 Maret 2016 berkas PK Perkara niaga AAL dikirim ke Mahkamah Agung. Sebelum berkas perkara dikirim, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi selaku Sekretaris Mahakamah Agung RI yang meminta gar berkas perkara niaga PT AAL segera dikirim ke MA Edy Nasution juga dinilai terbukti juga membantu Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International yang juga direktur PT Jakarta Baru Cosmopolitan Ervan Adi Nugroho terkait putusan eksekusi permohonan eksekusi putusan Raad Van Yustitie di Jakarta tanggal 12 Juli 1940 No 232/1937.
Pada bulan November 2015, Ervan Adi Nugroho selaku pemilik lahan bermasalah memperoleh surat PN Jakarta Pusat perihal permohonan eksekusi lanjutan yang belum didistribusikan, atas surat tersebut Ervan meminta Wresti untuk mempelajari surat tersebut dan "memending" atau menunda pelaksanaan putusan tersebut dengan meminta tolong kepada Edy Sindoro Kemudian Wresti Kristian Hesti mempelajari surat tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho yang intinya bahwa pada kalimat akhir surat tersebut isinya harus disamakan dengan surat PN Pusat terdahulu dengan mengubah kalimat dalam surat tersebut dari "belum dapat disekskusi" diganti dengan "tidak dapat dieksekusi".
Wresti selanjutnya menemui Edy Nasution dan menyampaikan permintaan Ervan Adi Nugroho untuk memending pelaksanaan eksekusi putusan tersebut kepada Edy Nasution atas permintaan tersebut Edy Nasution menyampaikan bahwa surat tersebut belum dikirim ke mana-mana. (Baca juga: Memo untuk "Sang Promotor", Benang Merah Nurhadi dan Lippo Group)




Tags:

Berita Terkait