Penyiksaan Saat Penyidikan Justru Menguntungkan Orang Bersalah, Kok Bisa?
Utama

Penyiksaan Saat Penyidikan Justru Menguntungkan Orang Bersalah, Kok Bisa?

Ke depan, penyiksaan selama penyidikan perlu ditegaskan sebagai tindak pidana.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban penyiksaan. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban penyiksaan. Ilustrator: HGW

Meskipun Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998, penyiksaan (torture)tersangka atau saksi dalam penyidikan masih terus berlangsung. Salah satu contoh terbaru adalah penyiksaan yang dialami Sarpan pada Juni lalu. Pria ini disiksa di Polsek Percut Sei Tuan Sumatera Utara padahal posisinya hanya sebagai saksi kasus pembunuhan. Sarpan akhirnya dibebaskan setelah puluhan orang mendatangi kantor Polsek. Wajahnya memar dan lebam, yang membuktikan adanya penyiksaan fisik.

Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Totok Yulianto, menyebutkan kasus yang menimpa Sarpan hanya salah satu dari banyak kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Jenis atau bentuk-bentuk penyiksaan yang dilakukan pun beragam. Penyiksaan yang umum adalah kekerasan terhadap fisik termasuk memukul, menyundut dengan rokok, dan menembak kaki orang yang dicurigai melakukan kejahatan. Selain itu terjadi pula penyiksaan psikis (seperti penelanjangan dan menjemur orang yang diperiksa), dan pembiaran (pembatasan akses obat-obatan, dan mengurung di ruang tertutup).   

Puluhan tahun sejak Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment itu, tak terhitung berapa orang yang menjadi korban penyiksaan semata-mata untuk mendapatkan pengakuan. Bahkan ada yang sampai menggugat perdata institusi kepolisian dan anggota polisi yang melakukan penyiksaan ke pengadilan.

(Baca juga: Revisi KUHP Perlu Adopsi Konvensi Anti Penyiksaan).

Dalam diskusi webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Bandung, Jum’at (28/8), terungkap sejumlah kritik terhadap penyiksaan yang masih terjadi di Indonesia dan langkah-langkah yang perlu dilakukan ke depan untuk mencegah penyiksaan berulang. Penyiksaan yang dilakukan untuk mendapat pengakuan tersangka, misalnya, dianggap sebagai praktik yang tak sejalan dengan metode pengumpulan alat bukti di zaman modern. “Pengakuan bukan alat bukti yang kuat di dunia modern,” tegas Dekan Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan, L. Nanang Supriatna.

Salah satu hal yang mungkin tidak disadari selama ini adalah implikasi penyiksaan. Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung, Anne Safrina Kurniasari, mencoba membandingkan akibat yang mungkin timbul jika yang disiksa adalah orang yang bersalah dengan orang yang tidak bersalah. Jika yang diperiksa dan disiksa adalah orang yang sesungguhnya bersalah, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, jika bertahan pada jawaban tidak bersalah, maka ia akan disiksa tetapi kemungkinan mendapatkan keuntungan dibebaskan. Kedua, jika mengaku sebagai pelaku, maka ia akan mendapatkan keringanan hukuman karena dianggap tidak berbelit-belit memberikan keterangan.

Implikasi sebaliknya akan terjadi pada orang yang sesungguhnya tidak bersalah. Pertama, jika mengatakan tidak bersalah, ia akan disiksa. Kedua, jika mengaku bersalah (agar tidak disiksa), dia kemungkinan akan dihukum (padahal sebenarnya tidak bersalah).Dalam situasi penyiksaan, orang yang bersalah akan mendapatkan hukuman ringan atau mungkin dibebaskan. “Jadi, orang yang tidak bersalah selalu rugi oleh penyiksaan,” simpul dosen yang meneliti kriminalisasi penyiksaan oleh pejabat publik itu.    

Anne juga mengungkapkan faktor penyebab penyiksaan tidak tunggal. Ia berpendapat jenis tindak pidana yang dilakukan ikut membuka peluang terjadinya penyiksaan sebelum dan selama proses penyidikan. Pelaku street crime seperti kejahatan kesusilaan dan pencurian lebih sering disiksa dibandingkan pelaku tindak pidana korupsi. Malahan, tindak pidana korupsi nyaris tak pernah mengalami penyiksaan meskipun dampak perbuatan pelaku lebih besar. Faktor lain adalah rumit atau sulitnya kasus yang menyebabkan sulitnya pembuktian; dan usia muda dengan tingkat pendidikan tidak tinggi.

Anne mengingatkan bahwa penyiksaan tidak hanya menimpa manusia secara fisik (manusia), tetapi juga aspek kemanusiaan (humanity). Konvensi Anti Penyiksaan (CAT, 1984) sejatinya dibuat untuk mencegah terjadinya penyiksaan di negara-negara anggota. Indonesia sudah meratifikasi CAT sejak 1998, tetapi belum mengesahkan protokol opsionalnya. Indonesia juga punya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(Baca juga: Polisi Diminta Usut Tuntas Dugaan Penyiksaan ABK Indonesia di Kapal Tiongkok).

Menurut Totok Yulianto, ada banyak faktor yang melanggengkan praktik penyiksaan. Misalnya, pelaku penyiksaan adalah aparat penegak hukum, minimnya pengawasan terhadap penegak hukum, KUHAP memungkinkan terjadinya penyiksaan, dan penyiksaan orang yang diduga melakukan kejahatan dianggap bukan sebagai tindak pidana.

Terhadap faktor yang disebut terakhir, sebenarnya pelaku dapat dikenakan Pasal 351 atau Pasal 422 KUHP. Pasal 351 mengancam siapapun yang melakukan penganiayaandapat dipidana. Ancaman hukuman maksimalnya beragam, bergantung pada akibat yang ditimbulkan penganiayaan itu. Pasal 422 KUHP mengancam pidana penjara maksimal 4 tahun bagi setiap pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapatkan keterangan.

Dalam diskusi webinar tersebut berkembang pemikiran agar ke depan perlu dipertegas bahwa penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka atau saksi merupakan suatu tindak pidana. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pun menaruh perhatian pada isu penyiksaan ini. “Penyiksaan salah satu perkara prioritas di LPSK,” ujar komisioner LPSK, Edwin Partogi Pasaribu.

Tags:

Berita Terkait