Penyidik KPK Kritik UU TPPU
Berita

Penyidik KPK Kritik UU TPPU

Ada celah pembuktian terbalik di pengadilan berpotensi menguntungkan terdakwa.

NOV/INU
Bacaan 2 Menit
Penyidik KPK Novel Baswedan (baju putih). Foto: Dok KPK
Penyidik KPK Novel Baswedan (baju putih). Foto: Dok KPK

Penyidik KPK mengalami kesulitan menerapkan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sekalipun sebelum menangani perkara, sejumlah pelatihan dan telaah lebih dulu dijalani penyidik KPK.

Sejauh ini, KPK sudah menangani sejumlah perkara korupsi dengan menggunakan pasal pencucian uang. Baik saat proses penyidikan maupun penuntutan. Seperti dakwaan pada anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Wa Ode Nurhayati. Kemudian, sangkaan pencucian uang yang dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, Irjen (Pol) Djoko Susilo, dan eks Presiden Partai Keadilan Sosiak (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Wa Ode telah diputus bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melakukan korupsi pengalokasian DPID tahun 2011 dan TPPU.

Pengenaan UU TPPU terhadap beberapa pelaku tindak pidana korupsi itu, menurut penyidik KPK Novel Baswedan merupakan pengembangan dari perkara pokok. “Namun, dalam penerapan UU TPPU, pembuktian terbalik sering kali dipandang dengan cara yang salah,” katanya dalam sebuah diskusi di auditorium KPK, Selasa (26/3).

Novel melanjutkan, penerapan pembuktian terbalik dalam UU TPPU tidak jelas. Terutama pembuktian seperti apa yang dapat diberikan pelaku TPPU di persidangan. Pembuktian terbalik tidak dapat diberikan secara bebas dengan menggunakan sesuatu yang belum diketahui validitasnya.

Sebagaimana ketentuan Pasal 77 UU TPPU, terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana di persidangan. Kemudian, Pasal 78 UU TPPU mengamanatkan hakim untuk memerintahkan terdakwa membuktikan harta kekayaan dimaksud yang dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup.

Kewajiban pembuktian terbalik yang hanya dilakukan di persidangan, dipandang Novel menguntungkan terdakwa TPPU. “Persidangan itu waktunya pendek. Ketika terdakwa disuruh membuktikan, dia bisa bikin sedemikian rupa bukti-bukti seolah-olah harta diperoleh dengan cara sah,” ujarnya.

Itu terjadi karena saat perkara pencucian uang sedang disidik, bukti-bukti belum sempat ditelusuri penyidik. Penulusuran dimaksudkan untuk memastikan validitas bukti-bukti tersebut.

Ketika bukti baru disampaikan di persidangan, menurut Novel, sulit bagi penuntut umum untuk membuktikan sebaliknya karena keterbatasan waktu. “Kapan pula hakim bisa membuktikan kebenaran itu,” terang Novel.

Karena itu, Novel sepakat dengan pendapat sejumlah akademisi yang menggunakan istilah “pembalikan beban sebagian pembuktian” ketimbang “pembuktian terbalik”. Pembuktian dimaksud sudah dilakukan sejak di tingkat penyidikan. “Jadi, nanti disampaikan, tapi di persidangan akan diminta terdakwa untuk membuktikan dulu,” tuturnya.

Novel menuturkan, saat proses penyidikan, sudah dilakukan pembedaan harta hasil kejahatan korupsi dan mana harta hasil TPPU. Ketika seseorang melakukan korupsi, mendapatkan uang dari hasil korupsi, lalu uang itu disimpan di rumah, belum terjadi tindak pidana pencucian uang.

Pencucian uang terjadi apabila hasil kejahatan itu ditempatkan, transfer, dialihkan. Atau tindakan lain seperti tertulis dalam Pasal 3 UU 8 Tahun 2010.

Novel menguraikan, ada kesulitan tersendiri bagi penyidik menelusuri harta hasil kejahatan yang sudah dialihkan dan disembunyikan dalam pelbagai bentuk. Dia bersyukur UU TPPU memberi jalan keluar dengan memudahkan pencarian harta-harta terkait pelaku TPPU dari penyedia jasa keuangan atau tempat-tempat lainnya.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf membenarkan bisa jadi pembuktian terbalik yang hanya disampaikan di persidangan menguntungkan terdakwa. Hal ini terjadi apabila di tahap penyidikan, penyidik tidak mengungkap secara komperhensif asal usul harta yang dimiliki tersangka TPPU.

Untuk mengantisipasi kemungkinan lepasnya terdakwa dari TPPU, Yusuf berpendapat penyidik harus menggali kebenaran materil mengenai asal usul harta kekayaan tersangka TPPU. “Bukan hanya berdasarkan bukti formal seperti sertifikat semata, tapi digali dari mana uang untuk membelinya,” tulis Yusuf melalui Blackberry Messenger pada hukumonline.

Wakil Kepala PPATK Agus Santoso, melalui media yang sama kepada hukumonline menuliskan, pembuktian terbalik bukan hanya merupakan penjelasan lisan belaka. Namun, menuntut adanya bukti berupa dokumen otentik dan sah dengan menyebutkan dasar transaksi-transaksi yang sah pula (underlying transaction) ketika harta tersebut diperoleh.

Agus menambahkan, hakim bisa saja meyakini data-data yang disampaikan terdakwa. Apabila hakim bersikap sebaliknya, harta itu akan dianggap ilegal kemudian dirampas untuk negara. “Beban pembuktian terbalik atas harta atau aset terdakwa yang dituntut jaksa, ada pada si terdakwa, bukan jaksa yang harus buktikan,” tandasnya.

Tags:

Berita Terkait