Penyerahan Berulang Kepada Dua Orang Berlainan
Kolom Hukum J. Satrio

Penyerahan Berulang Kepada Dua Orang Berlainan

Harus diakui, memang tidak ada ketentuan undang-undang yang dengan tegas mengatur penyerahan secara constitutum possessorium, namun lembaga hukum itu telah mendapatkan pengakuan dalam keputusan Pengadilan.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Makalah ini hendak mencari jawab atas pertanyaan: apakah seorang pemilik bisa memfidusiakan benda miliknya kepada dua kreditur berlainan secara berturut-turut? Kalau bisa, siapa di antara keduanya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pada waktu mengambil pelunasan?

 

Cara Penyerahan Benda

Undang-undang dalam Pasal 584 BW menentukan, bagaimana suatu benda diserahkan agar menjadi milik orang yang menerima penyerahan. Agar benda yang diserahkan menjadi milik pihak yang menerima penyerahan, maka penyerahan itu harus didasarkan atas suatu hubungan hukum (titel).

 

Hubungan hukum itu harus mewajibkan adanya penyerahan dan penyerahan itu dilakukan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda yang diserahkan, dan yang mempunyai kewenangan seperti itu  pada umumnya -tidak selalu- adalah pemilik benda itu.

 

Selanjutnya dalam undang-undang (BW) ditetapkan pula, bagaimana cara penyerahan itu dilakukan. Kalau bendanya berupa benda bergerak bertubuh, penyerahan itu dilakukan sebagai diatur dalam Pasal 612 BW. Kalau bendanya bergerak tidak bertubuh, maka penyerahannya dilakukan menurut Pasal 613 BW. Kalau bendanya berupa benda tetap, yang wujudnya tanah, maka penyerahan dilakukan menurut ketentuan UU Pokok Agraria.

 

Penyerahan benda bergerak bertubuh dilakukan dengan “penyerahan nyata” benda itu oleh atau atas nama pemiliknya atau penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana benda yang akan diserahkan berada (baca Pasal 612 BW).

 

Perhatikan kata-kata “penyerahan nyata”, yang mengajarkan, bahwa penyerahan itu harus riil ada dari yang menyerahkan kepada yang menerima penyerahan. Janji-janji saja tidak mengalihkan hak milik.

 

Di samping itu, dalam hukum perdata dikenal adanya “penyerahan secara constitutum possessorium”. Di mana disepakati bahwa pemilik benda menyerahkan hak miliknya atas benda itu kepada yang mengoper (yang menerima penyerahan). Tetapi dengan janji bahwa ia (yang menyerahkan) boleh tetap menggunakannya dan selanjutnya ia memegang benda itu untuk pemilik-baru itu (yang menerima penyerahan).

 

Jadi statusnya, orang yang semula adalah pemilik, sekarang ia menjadi peminjam pakai. Dalam peristiwa demikian tidak terjadi penyerahan nyata, tetapi hanya didasarkan sepakat belaka.

 

Konsekuensi dari penyerahan secara constitutum possesorium:

Barang itu secara fisik tetap berada dalam kekuasaan orang yang telah mengalihkannya, tetapi hak miliknya sudah tidak ada lagi padanya.

 

Bagi pihak ketiga, tidak nampak perubahan status orang yang menguasainya, bagi pihak ketiga ia (pemilik-asal) tetap nampak sebagai pemilik benda yang dikuasainya.

 

Kalau begitu, pada penyerahan hak milik secara kepercayaan, secara riil tidak ada penyerahan, yang ada hanya kesepakatan antara orang yang menyerahkan dan orang yang menerima penyerahan.

 

Bukankah tindakan itu -kalau bendanya, seperti pada umumnya, berupa benda bergerak bertubuh- melanggar ketentuan Pasal 612 BW? Bagaimana hal itu bisa dibenarkan?

 

Undang-undang (BW) tidak secara tegas mengatur penyerahan secara “constitutum possessorium”.

 

Orang mencari dasar pembenarnya dalam beberapa pasal dalam BW yang tidak berbicara tentang itu, antara lain Pasal 540 dan Pasal 1697 BW.

 

Pasal 540 BW mengatakan:

“Kedudukan demikian dapat diperoleh, baik dengan diri sendiri, baik dengan perantaran orang lain, yang melakukan perbuatan tadi atas namanya”.

 

Kalau Anda tidak mengerti dengan baik bunyi pasal itu memang bisa dimengerti, karena yang Anda baca ada terjemahan dari bahasa aslinya (bahasa Belanda). Terjemahan memang sering kurang bisa menggambarkan maksud kata-kata yang hendak diterjemahkan, karena adakalanya bahasa kita tidak punya kata padanannya.

 

Pasal itu mestinya mau mengatakan, orang bisa memperoleh penguasaan atas suatu benda (dengan perkataan lain menjadi bezitter atas suatu benda), baik dengan menguasai benda itu oleh dan untuk dirinya sendiri, atau melalui orang lain, yang atas nama kita menguasainya untuk kita.

 

Jadi, kita bisa jadi bezitter atas suatu benda, yang secara fisik dikuasai oleh diri kita sendiri atau melalui orang lain, yang memegang untuk kita.

 

Selanjutnya kata-kata “kedudukan yang demikian” harus dibaca dalam hubungan dengan pasal-pasal sebelum (Pasal 538 BW), yang sedang berbicara tentang “kedudukan berkuasa atas suatu benda”. Jadi, Pasal 540 BW mau mengatakan, bahwa kedudukan berkuasa atas suatu benda juga dapat diperoleh melalui penguasaan benda itu oleh dirinya sendiri atau dikuasai olehnya melalui orang yang memegang untuk kita.

 

Jadi untuk menjadi bezitter tidak perlu benda itu secara fisik dikuasai oleh diri kita sendiri.

 

Di samping itu, orang juga mendasarkan kepada ketentuan Pasal 1697 BW, mengatakan:

“Perjanjian itu tidaklah telah terlaksana selainnya dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan”.

 

Kata-kata “perjanjian itu” tertuju kepada “perjanjian penitipan barang” yang diatur dalam pasal sebelumnya.

 

Kalau perjanjian penitipan barang -yang dalam doktrin ditafsirkan sebagai suatu perjanjian riil- membolehkan adanya penyerahan yang dipersangkakan (tanpa penyerahan nyata), maka (konsekuensinya) mestinya tidak ada keberatan, kalau disepakati adanya penyerahan hak milik secara constitutum possessorium.

 

Bukankah menurut pasal itu penyerahan benda cukup disepakati saja dan dengan itu dipersangkakan benar-benar ada penyerahan?

 

Harus diakui, memang tidak ada ketentuan undang-undang yang dengan tegas mengatur penyerahan secara constitutum possessorium, namun lembaga hukum itu telah mendapatkan pengakuan dalam keputusan Pengadilan.[1] Pengakuan itu semula aantara lain didasarkan atas Pasal 540 BW, namun kemudian ditinggalkan.[2] 

 

J. Satrio

 

[1]     C. Asser – J.H. Beekhuis, “Handleiding tot de beoefening van her Nederlands Burgelijk Recht, Zakenrecht, Akgemeen Deel”, hlm. 118.

[2]     HR 22 Mei 1953, NJ. 1954, 189, dalam arrest Sio.

Tags:

Berita Terkait