Penyerahan Berulang Kepada Dua Orang Berlainan: Dilihat dari UU Fidusia
Kolom Hukum J. Satrio

Penyerahan Berulang Kepada Dua Orang Berlainan: Dilihat dari UU Fidusia

Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang membicarakan penyerahan secara constitutum possessorium.

RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Bagaimanapun, lembaga hukum constitutum possessorium sudah diakui dan diterima. Di Indonesia bahkan mendapatkan pengakuannya dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia. Apakah lembaga itu tidak membahayakan kreditur? Bukankah hal itu bisa dimanfaatkan oleh debitur nakal untuk mengelabuhi krediturnya?

 

Debitur yang -dari banyaknya harta yang berada dalam kekuasaannya- nampak terlihat sebagai orang yang mempunyai banyak harta. Lantaran nampak sebagai nasabah yang berharga untuk diberikan kredit, bisa saja nanti ternyata, pada waktu dia wanpresatsi dan harta yang ada padanya akan di eksekusi, mengatakan kepada juru sita, maaf mas, barang-barang ini sudah saya jual dan serahkan kepada mertua saya, sambil menyodorkan akta jual belinya.

 

Juru sita bertanya, kalau sudah dijual dan diserahkan kok barang ini masih di tempat Anda? Ya, memang saya telah menjualnya dan penyerahannya telah dilakukan secara constitutum possessorium. Sekalipun kita tahu itu hanyalah jual beli pura-pura, namun tidak mudah bagi kita untuk membuktikan bahwa jual beli itu pura-pura saja.

 

Bukankah semua itu gara-gara dimungkinkannya peralihan hak milik atas harta bergerak bertubuh tanpa adanya penyerahan nyata sebagai yang disyaratkan oleh Pasal 612 BW? Mengapa perlu dikemukakan adanya penyerahan secara constitutum possessorium?

 

Perlu dijelaskan bahwa kalau barang itu sudah dijual, tetapi belum diserahkan, maka barang-barang itu masih menjadi milik debitur, karena hak milik baru beralih berdasarkan penyerahan (baca Pasal 584 jo Pasal 612 BW).

 

Sebenarnya gambaran yang menyesatkan, bahwa orang itu nampak sebagai orang yang layak diberikan kredit (credietwaardig) bisa juga timbul karena ada barang-barang yang dititipkan atau disewakan kepadanya. Sehingga, karena barang-barang itu ada dalam penguasaan debitur, debitur nampak keluar punya cukup kekayaan untuk menjamin hutang-hutangnya (Pasal 1131 BW).  

 

Lalu bagaimana pengamanannya?

Pengamanan bisa dilakukan kreditur dengan minta jaminan khusus kebendaan yang berupa gadai (Pasal 1150 BW). Atau, jaminan khusus pribadi berupa penanggungan pihak ketiga (borgtocht, Pasal 1820 BW).

 

Dengan jaminan gadai kreditur relatif terjamin, karena adanya Pasal 1152 ayat (4) BW, yang pada asasnya mengatakan, bahwa hal tidak berkuasanya pemberi gadai untuk memberikan jaminan gadai tidak bisa dipersalahkan kepadanya.

 

Pasal 1152 ayat (4) BW mengatakan:

“Hal tidak berkuasanya si pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan barang gadainya, tidaklah dapat dipertanggung-jawabkan kepada si berpiutang yang telah menerima barang tersebut dalam gadai, dengan tidak mengurangi hak si yang kehilangan atau kecurian barang itu, untuk menuntutnya kembali”.

 

Bagaimana Pasal 1152 ayat (4)BW ditafsirkan?

Kata-kata “hal tidak berkuasanya si pemberi gadai untuk bertindak bebas dengan benda gadainya ……” mau mengatakan, bahwa hal tidak wewenangnya si pemberi gadai untuk mengambil tindakan pemilikan atas benda yang digadaikan, tidak bisa dipersalahkan kepada kreditur penerima-gadai, karena bendanya berupa benda bergerak tidak atas nama (catatan: pada waktu BW diundangkan belum ada mobil dan sepeda motor), sehingga tidak bisa diketahui siapa pemiliknya.  

 

Selanjutnya pasal tersebut harus ditafsirkan: kalau ternyata pemberi gadai telah menggadaikan benda milik orang lain, yang hilang atau dicuri (baca Pasal 1977 ayat 2 BW),  kreditur penerima gadai tetap saja terlindung, karena sekalipun hak revindikasi pemilik (yang kehilangan atau kecurian) diakui, namun Pasal 1152 ayat (4) BW juga melindungi kepentingan kreditur pemegang gadai.

 

Perlindungan itu diberikan dengan mengharuskan pemilik, yang melancarkan revindikasi, untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan oleh kreditur-pemegang-gadai untuk bisa memegang benda jaminan itu, dengan perkataan lain, benda gadai harus ditebus oleh pemilik.[1]  

 

Permasalahan yang muncul di atas, karena diakuinya kemungkinan orang menguasai suatu benda oleh dirinya sendiri maupun melalui orang lain (Pasal 540 BW). Dan, diakuinya bisa adanya penyerahan yang dipersangkakan (Pasal 1697 BW), masih bisa ditambah menjadi lebih ruwet lagi, kalau ternyata benda yang sudah difidusiakan bisa difidusiakan lagi kepada kreditur lain.

 

Menurut sejarahnya (sebelum ada UU No. 42 Tentang Fidusia), lembaga jaminan fidusia sebenarnya merupakan penyelundupan terhadap ketentuan tentang gadai. Sebagai lembaga jaminan benda bergerak, sebagai diatur dalam BW, lembaga jaminan gadai, di mana benda jaminannya merupakan benda bergerak, mensyaratkan benda gadai dikeluarkan dari kekuasaan pemberi gadai (Pasal 1150 jo. Pasal 1152 BW).

 

Perhatikan Pasal 1152 ayat (2) BW, yang mengatakan bahwa:

“Tak sah adalah hak gadai atas segala benda yang dibiarkan tetap dalam kekuasaan si berhutang atau si pemberi-gadai ataupun yang kembali atas kemauan si berpiutang”.

 

Perhatikan adanya ancaman “tidak sah”, kalau benda gadai tetap ada dalam tangan pemberi gadai, dengan mana nampak ketentuan itu merupakan ketentuan yang bersifat memaksa dan karenanya berkaitan dengan ketertiban umum.

 

Mestinya ketentuan gadai, yang mengatur lembaga jaminan yang berupa benda bergerak, tidak bisa mentolerir adanya penyerahan benda jaminan gadai secara constitutum possessorium.

 

J. Satrio

[1]     J. Satrio, “Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan”, hlm. 111 dsl.

Tags:

Berita Terkait