Penyelesaian Single Bar dan Multi Bar Harus Lewat Revisi UU Advokat
Utama

Penyelesaian Single Bar dan Multi Bar Harus Lewat Revisi UU Advokat

Harus ada pemisahan fungsi antara organisasi advokat sebagai regulator dan organisasi advokat sebagai eksekutor (pelaksana).

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Narasumber diskusi bertajuk 'Problematika dalam Penegakan Kode Etik Advokat di Tengah Kondisi Organisasi Advokat Saat Ini' di Jakarta, Selasa (13/9/2022). Foto: Istimewa
Narasumber diskusi bertajuk 'Problematika dalam Penegakan Kode Etik Advokat di Tengah Kondisi Organisasi Advokat Saat Ini' di Jakarta, Selasa (13/9/2022). Foto: Istimewa

Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan single bar dan multi bar dalam tubuh organisasi advokat seolah tak ada ujungnya. Persoalan itu merembet ke berbagai hal, mulai fenomena standar profesi advokat, kualitas advokat, hingga mekanisme pengawasan dan penegakan kode etik advokat.

Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menegaskan polemik single bar dan multi bar itu harus diakhiri. Upaya yang bisa dilakukan parlemen untuk menyelesaikan masalah tersebut yakni melalui revisi UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.

“Kami di komisi III DPR berpikir perdebatan single bar dan multi bar harus kita akhiri,” kata Arsul dalam diskusi bertajuk “Problematika dalam Penegakan Kode Etik Advokat di Tengah Kondisi Organisasi Advokat Saat Ini” yang digelar DPC Peradi Jakarta Selatan di Jakarta, Selasa (13/09/2022).

Baca Juga:

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menjelaskan RUU Advokat sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014. Kala itu, DPR dan pemerintah telah membentuk panitia khusus yang selanjutnya dibentuk panitia kerja (panja) guna membahas RUU itu. Pembahasan itu tak selesai sampai masa persidangan periode 2009-2014 berakhir. RUU Advokat masuk Prolegnas 2015–2019 sebagai inisiatif DPR, tapi nasib pembahasan RUU Advokat sama seperti periode sebelumnya, tak tuntas sampai akhir periode.

Kemudian, RUU Advokat kembali masuk ke dalam Prolegnas 2020–2024 sebagai inisiatif DPR, tapi belum menjadi Prolegnas Prioritas di tahun 2022. Arsul mengatakan pada intinya ruang diskusi untuk menyempurnakan substansi RUU Advokat masih terbuka. Ada banyak gagasan dari anggota Komisi III DPR terhadap RUU Advokat, antara lain membenahi kelembagaan organisasi advokat.  

Arsul memberi contoh setelah reformasi banyak lembaga yang “dirombak” karena sebelumnya memiliki kewenangan sebagai regulator sekaligus eksekutor. Misalnya, Pertamina sebelum era reformasi bertindak sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi sekaligus sebagai pelaksananya.

Tapi kemudian fungsi regulator dilepas dari Pertamina dan dialihkan ke SKK Migas. Begitu pula Jasa Marga dimana sebelum reformasi memiliki kewenangan sebagai regulator sekaligus pengelola jalan tol. Tapi sekarang dipisah dimana fungsi regulator jalan tol dialihkan kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).

Melihat perkembangan tersebut, Arsul mengatakan untuk organisasi advokat harus ada yang single bar yakni memiliki fungsi sebagai regulator dan tidak menjalankan fungsi sebagai pelaksana atau eksekutor. Fungsi regulator ini seperti melakukan pengawasan, menyusun kurikulum pendidikan, kode etik, membentuk Dewan Kehormatan Advokat. Sebaliknya untuk organisasi advokat lain yang tidak memiliki fungsi sebagai regulator, maka bertindak sebagai pelaksana atau eksekutor.

“Organisasi advokat yang memegang fungsi regulator itu tidak boleh menggelar pendidikan khusus profesi advokat (PKPA),” tegasnya.

Secara umum pokok-pokok revisi UU Advokat meliputi 8 hal. Pertama, terkait fungsi, kedudukan, dan wilayah kerja advokat. Kedua, hak dan kewajiban. Ketiga, pengangkatan, sumpah atau janji, dan pemberhentian. Keempat, organisasi advokat. Kelima, Dewan Advokat Nasional. Keenam, Kode Etik dan Dewan Kehormatan-Majelis Kehormatan. Ketujuh, partisipasi masyarakat. Delapan, larangan dan ketentuan pidana.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan mengatakan profesi advokat saat ini seolah hidup dalam hutan belantara dimana pelanggaran termasuk terhadap kode etik advokat kerap terjadi. Otto melihat pelanggaran kode etik advokat sebagai persoalan serius.

Penegakan terhadap kode etik harus dilakukan, tapi masalahnya dengan kondisi saat ini hal itu belum bisa dilakukan secara optimal. Banyaknya organisasi advokat memunculkan tren pindah organisasi dimana advokat pindah organisasi ketika dijatuhi sanksi etik dari organisasi sebelumnya.

Dia memberikan contoh saat ini ada banyak organisasi advokat yang masing-masing menerapkan standar kelulusan yang berbeda-beda dalam menggelar ujian advokat. Akibatnya kualitas advokat yang dihasilkan juga berbeda-beda. “Penegakan kode etik (advokat, red) tidak akan tercapai kalau tidak ada (system, red) single bar,” kata Otto Hasibuan.  

Otto menjelaskan yang dimaksud single bar  yakni hanya ada satu organisasi advokat yang memiliki kewenangan untuk mengatur berbagai hal terkait profesi advokat. Tapi bukan berarti tidak boleh ada organisasi advokat lainnya. Intinya dari banyak organisasi advokat itu hanya satu organisasi yang punya kewenangan. 

Ia juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap advokat. Organisasi advokat harus memiliki Dewan Kehormatan yang salah satu tugasnya menegakan kode etik advokat. Soal usulan Dewan Kehormatan Bersama, Otto menyebut usulan itu ujungnya pasti perpecahan karena berpotensi konflik pada saat menentukan siapa ketuanya. “Ini tidak menyelesaikan masalah.”

Vice President KAI, Luthfi Yazid mengatakan pengawasan terhadap advokat diatur Pasal 12 dan 13 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Sayangnya pasal itu tidak menjelaskan lebih rinci. Ia melihat ada peluang untuk menerbitkan peraturan pelaksana yang diterbitkan pemerintah untuk mengatur lebih jelas pengawasan terhadap advokat. “Tapi, saya mengusulkan dibentuk Dewan Kehormatan Bersama.”

Tags:

Berita Terkait