Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan single bar dan multi bar dalam tubuh organisasi advokat seolah tak ada ujungnya. Persoalan itu merembet ke berbagai hal, mulai fenomena standar profesi advokat, kualitas advokat, hingga mekanisme pengawasan dan penegakan kode etik advokat.
Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menegaskan polemik single bar dan multi bar itu harus diakhiri. Upaya yang bisa dilakukan parlemen untuk menyelesaikan masalah tersebut yakni melalui revisi UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Kami di komisi III DPR berpikir perdebatan single bar dan multi bar harus kita akhiri,” kata Arsul dalam diskusi bertajuk “Problematika dalam Penegakan Kode Etik Advokat di Tengah Kondisi Organisasi Advokat Saat Ini” yang digelar DPC Peradi Jakarta Selatan di Jakarta, Selasa (13/09/2022).
Baca Juga:
- Otto Hasibuan: Penegakan Kode Etik Advokat Tak Tercapai Tanpa Single Bar
- Dewan Kehormatan Bersama bagi Advokat Sebuah Keniscayaan
- Organisasi Advokat dalam Satu Wadah Tunggal, Masihkah Relevan?
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menjelaskan RUU Advokat sempat masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014. Kala itu, DPR dan pemerintah telah membentuk panitia khusus yang selanjutnya dibentuk panitia kerja (panja) guna membahas RUU itu. Pembahasan itu tak selesai sampai masa persidangan periode 2009-2014 berakhir. RUU Advokat masuk Prolegnas 2015–2019 sebagai inisiatif DPR, tapi nasib pembahasan RUU Advokat sama seperti periode sebelumnya, tak tuntas sampai akhir periode.
Kemudian, RUU Advokat kembali masuk ke dalam Prolegnas 2020–2024 sebagai inisiatif DPR, tapi belum menjadi Prolegnas Prioritas di tahun 2022. Arsul mengatakan pada intinya ruang diskusi untuk menyempurnakan substansi RUU Advokat masih terbuka. Ada banyak gagasan dari anggota Komisi III DPR terhadap RUU Advokat, antara lain membenahi kelembagaan organisasi advokat.
Arsul memberi contoh setelah reformasi banyak lembaga yang “dirombak” karena sebelumnya memiliki kewenangan sebagai regulator sekaligus eksekutor. Misalnya, Pertamina sebelum era reformasi bertindak sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk membuat regulasi sekaligus sebagai pelaksananya.