Pemilihan umum atau Pemilu di Indonesia merupakan salah satu perwujudan demokrasi yang tak jarang menghadirkan konflik dan sengketa. Sebaik-baiknya sistem penyelenggaraan Pemilu yang dirancang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di dalamnya, selalu ada kemungkinan terjadi pelanggaran yang memicu konflik dan sengketa.
Sengketa dapat terjadi antar peserta Pemilu dan peserta dengan penyelenggara Pemilu, karena adanya hak peserta Pemilu yang merasa dirugikan. Objek yang disengketakan dapat berupa surat keputusan KPU maupun berita acara yang dibuat KPU.
Sengketa Pemilu di Indonesia dapat terjadi sejak perencanaan, persiapan, tahapan hingga perhitungan suara hasil Pemilu. Pelanggaran dapat berupa pelanggaran administrasi hingga pelanggaran pidana.
Baca Juga:
- Sederet Harapan untuk Pimpinan KPU dan Bawaslu yang Baru
- Presiden Tegaskan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 Sesuai Jadwal
Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan melalui mediasi dan ajudikasi dengan jangka waktu penyelesaian sengketa selama 12 hari. Permohonan pengajuan sengketa paling lambat tiga hari sejak dikeluarkannya berita acara maupun Surat Keputusan oleh KPU.
Penyampaian permohonan bisa secara langsung diberikan ke kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau dapat diserahkan secara online paling lambat tiga hari sesudah menyampaikan permohonan.
Terkait gugatan keberatan terhadap hasil pemilu menjadi kewenangan lembaga negara yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Mengutip UUD RI 1945 Pasal 24C ayat (1) menyebutkan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu.