Penyelesaian Sengketa Pajak Air PT Freeport Masih ‘Gantung’
Berita

Penyelesaian Sengketa Pajak Air PT Freeport Masih ‘Gantung’

Padahal, dalam mediasi pertama Freeport sudah sepakat besaran denda pajak sebesar Rp1,8 triliun yang mesti ditunaikan awal Agustus 2018. Namun, ternyata Freeport masih berpegang pada putusan PK yang telah membatalkan putusan Pengadilan Pajak No. Put-79858/PP/M.XVB/24/2017.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Suasana mediasi antara PT Freeport dan Majelis Rakyat Papua terkait pajak air permukaan yang difasilitasi DPD di Gedung Parlemen Jakarta, Senin (6/8). Foto: RFQ
Suasana mediasi antara PT Freeport dan Majelis Rakyat Papua terkait pajak air permukaan yang difasilitasi DPD di Gedung Parlemen Jakarta, Senin (6/8). Foto: RFQ

Pembayaran pajak air permukaan antara PT Freeport Indonesia dengan pihak Majelis Rakyat Papua belum menemui titik temu, khususnya soal besaran angka yang mesti dibayarkan Freeport Indonesia ke masyarakat Papua. Hal tersebut mencuat dalam rapat mediasi kali kedua di Gedung Dewan Perwakilan Daerah. DPD sendiri sebagai pihak yang menengahi atas persoalan tersebut atau mediator. 

 

Wakil Ketua DPD Nono Sampono geram dengan sikap Freeport yang tak kunjung memenuhi kewajibannya. Sebab, dalam pertemuan mediasi pertama telah disepakati besaran denda pajak sebesar Rp1,8 triliun yang mesti ditunaikan pada awal Agustus 2018. Terlebih, dalam pertemuan pertama telah menjadi kesepakatan final antara perwakilan Majelis Rakyat Papua dengan PT Freeport Indonesia.

 

Namun, dalam pertemuan kedua ini semestinya sudah ada kata kesepakatan dan bersifat final. Dengan begitu, Freeport Indonesia mesti segera menunaikan kewajibannya kepada Majelis Masyarakat Papua dengan membayar pajak air permukaan sesuai hasil kesepakatan mediasi pertama.

 

“Jangan kita berada di persimpangan lagi, sehingga kesepakatan tidak tercapai. Kita masih berada di posisi dan kesepakatan sebelumnya dan itu tidak seharusnya berubah,” harap Nono di Komplek Gedung Parlemen Jakarta, Senin (6/8/2018). Baca Juga: Divestasi Saham Freeport Dinilai Abaikan Pemulihan Lingkungan

 

Senator asal Maluku itu berharap melalui mediasi kedua, persoalan kewajiban Freeport Indonesia akibat penambangan sumber daya alam di Papua dapat segera ditunaikan. Tentunya, agar permasalahan tersebut tidak berlarut-larut yang berdampak terhadap masyarakat Papua.

 

Anggota DPD Edison Lambe pun mengamini Nono Sampono. Menurutnya, Freeport semestinya menghormati keputusan atau kesepakatan dalam mediasi pertama. Begitu pula dengan hasil putusan dari pengadilan pajak meski telah ada putusan peninjauan kembali (PK) yang mengabulkan permohonan Freeport yang telah membatalkan putusan Pengadilan Pajak No. Put-79858/PP/M.XVB/24/2017. Namun, putusan PK tersebut dipandang tidak berkeadilan bagi masyarakat Papua.

 

Mahkamah Agung (MA) memang telah menerbitkan putusan PK melalui putusan Nomor 320/B/PK/Pjk/2018. Dalam putusan Pengadilan Pajak, intinya penolakan banding yang diajukan PT Freeport Indonesia terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Pajak Air Permukaan (PAP) peruntukan bulan Februari dan Maret 2014 yang diterbitkan Gubernur Papua, 8 Oktober 2014 silam. Dalam SKPD PAP tersebut mewajibkan Freeport Indonesia membayar Rp333.849.600 untuk Februari 2014. Selain itu, SKPD PAP Maret 2014 sebesar Rp369.619.200.000.

 

Dalam pertimbangan putusan Pengadilan Pajak membenarkan SKPD PAP yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Papua. Pasalnya majelis hakim pengadilan pajak menilai SKPD PAP telah berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua yang terkait dengan besaran tarif PAP.

 

Sayangnya dalam putusan PK, majelis PK berpendapat lain. Dalam pertimbangannya, majelis MA berpandangan argumentasi Freeport yang dijadikan alasan hukum dalam mengajukan PK dapat diterima. Antara lain, Freeport dan pemerintah Indonesia telah terikat perjanjian Kontrak Karya pada 1991. Terlebih, perjanjian Kontrak Karya tersebut bersifat lex spesialis (khusus) dan berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.

 

Dalil lain yang digunakan Freeport yaitu sifat kekhususan memiliki yuridiksi dan kedudukan perlakuan hukum sama tanpa adanya perbedaan perlakuan dalam pelayanan hukum. Selain itu, perkara tersebut menjadi kebijakan fiskal yang merupakan otoritas pemerintah pusat, atau Kementerian Keuangan.

 

Atas dasar itulah, Majelis PK pun mengabulkan permohonan Freeport sebagai pemohon peninjauan kembali pada Februari 2018. Karena itu, Majelis PK berpendapat putusan pengadilan pajak dipandang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Direktur PT Freeport Indonesia, Clementino Lamury tetap berpegang pada putusan PK tersebut. Namun demikian, dia berjanji bakal memboyong hasil mediasi kedua dengan Majelis Rakyat Papua ke pihak manajemen dan direksi Freeport Indonesia. Dengan begitu, diharapkan dapat segera diambil keputusan atau solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

 

“Saat ini belum bisa diambil keputusan, dan masih berpegang pada nilai yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung,” kata dia.

 

Tenggat waktu

Meski hasil kesepakatan mediasi kedua ini, belum bisa diputuskan manajemen PT Freeport, namun DPD memberikan tenggat waktu agar ada kepastian bagi masyarakat Papua perihal besaran angka yang mesti dibayarkan Freeport. Nono Sampono menyebut tenggat waktu bagi Freeport untuk memenuhi kewajibannya hingga 10 Agustus 2018 mendatang sebagai upaya pertemuan ketiga dalam rangka menindaklanjuti hasil pertemuan kedua ini.

 

DPD, kata Nono, menegaskan berada di pihak masyarakat Papua yakni tetap dengan tuntutan pembayaran PAP dengan angka Rp1,8 triliun. Diharapkan, adanya tenggat waktu ini, Freeport dapat segera menimbang dan memberikan keputusan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, khususnya bagi masyarakat Papua.

 

“Saya harap pertemuan nanti sudah sepakat dan sudah final pertemuan ini. Saya skors, bukan saya tutup, karena belum ada kata sepakat,” katanya.

Tags:

Berita Terkait