Penyelesaian Konflik Tata Ruang Bakal Diatur Lewat RUU Cipta Kerja
Berita

Penyelesaian Konflik Tata Ruang Bakal Diatur Lewat RUU Cipta Kerja

Nantinya, RUU Cipta Kerja mengubah Pasal 6 ayat (5) UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sehingga penyelesaian tumpang tindih antar batas wilayah, tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah termasuk konflik lahan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol

Tumpang tindih tata ruang, batas wilayah, dan perizinan kerap ditemui dalam berbagai kasus konflik atau sengketa lahan. Selama ini pemerintah dinilai belum mampu menyelesaikan kasus sengketa lahan yang ada di masyarakat, seperti sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat hukum adat, atau petani.

Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pertanahan, Kemenko Bidang Perekonomian, Dodi Slamet Riyadi, mengatakan sebagai upaya untuk membenahi masalah ini pemerintah akan mengubah Pasal 6 ayat (5) UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang melalui RUU Cipta Kerja. Pasal 6 ayat (5) UU 26/2007 menyebutkan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.  

Dalam perubahan Pasal 6 ayat (5) UU No.26 Tahun 2007 itu, pemerintah mengusulkan penyelesaian tumpang tindih antar batas wilayah, tata ruang, kawasan hutan, izin, dan/atau hak atas tanah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). PP itu juga dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik lahan di perkebunan sawit yang berada dalam kawasan hutan. Dengan perubahan itu diharapkan penyelesaian tumpang tindih antar batas wilayah, tata ruang, kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah dapat diselesaikan.

“Penyelesaian tumpang tindih tata ruang ini sudah dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja. Lalu, akan ditindaklanjuti lewat PP,” kata Dodi dalam diskusi secara daring yang diselenggarakan Sawit Watch bertema “Dua Tahun Moratorium Sawit: Potret Implementasi Kebijakan Perbaikan Tata Kelola Perkebunan Sawit Indonesia,” Rabu (30/9/2020). (Baca Juga: Menyoal Aturan Penyelarasan Peraturan di Bawah UU dalam RUU Cipta Kerja)  

Dodi menjelaskan dalam peraturan pelaksana nanti akan mengatur antara lain tentang  mekanisme penyelesaian sengketa lahan, sanksi administratif dan pidana. “Tapi yang diutamakan nanti pengenaan sanksi administrasi, sanksi pidana dikenakan jika memenuhi unsur pidana, misalnya menimbulkan kerugian negara, menghilangkan nyawa orang lain, dan jika pengenaan sanksi administratif tidak efektif,” ujarnya.

Selain itu, pola penyelesaian yang diusulkan pemerintah sedikitnya meliputi 4 hal. Pertama, untuk perkebunan sawit yang ada di kawasan hutan konservasi, jika pengelola kebun sawit itu masyarakat sanksinya berupa penutupan kebun. Jika pengelola kebun itu korporasi sanksinya berupa penutupan, denda, dan kewajiban merehabilitasi.

Kedua, perkebunan sawit di hutan lindung, jika pengelolanya masyarakat dan tidak dominan hutan, maka akan diberikan hak pengelolaan hutan melalui perhutanan sosial. Tapi jika perkebunan sawit yang dikelola masyarakat itu berada di lahan dominan hutan, maka sanksinya berupa penutupan. Jika pengelola kebun sawit di kawasan hutan lindung itu korporasi, sanksinya berupa pencabutan izin sektor, denda, dan kewajiban merehabilitasi.

Ketiga, kebun sawit yang dikelola masyarakat dan berada di kawasan hutan produksi terbatas, maka diusulkan untuk merevisi tata ruang oleh pemerintah daerah (pemda), pengurusan IUP/STDB setelah dilakukan revisi tata ruang. Jika pengelola kebun sawit di hutan produksi terbatas itu korporasi, dikenakan denda dan wajib mengurus izin pinjam pakai kawasan hutan.

Keempat, penyelesaian sengketa kebun sawit di hutan produksi konversi dilakukan dengan cara pengusulan revisi tata ruang oleh pemda, pengurusan IUP/STDB setelah revisi tata ruang. Bagi perusahaan, akan dikenakan denda dan wajib mengurus izin pelepasan kawasan hutan.

Belum terintegrasi

Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, mengatakan KPK telah menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) sejak 2015. Salah satu sektor yang disasar yakni perbaikan tata kelola perkebunan sawit. Sektor sawit sangat strategis dan berkontribusi terhadap penerimaan negara.

Tercatat penerimaan pajak dari sektor sawit tahun 2015 mencapai Rp22,27 triliun, pungutan ekspor CPO dan produk turunannya tahun 2016 sebesar Rp11,7 triliun. Tapi pengembangan komoditas sawit ini tak lepas dari berbagai persoalan, seperti lingkungan hidup, penerimaan negara, dan korupsi.

Lili mencatat laporan Bank Dunia menyebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas 2,6 juta hektar pada tahun 2015 di Indonesia sebagaian besar berada di perkebunan sawit. Kerugian karhutla diperkirakan mencapai Rp221 triliun. Selain soal lingkungan, perkebunan sawit juga sering menimbulkan konflik sosial seperti sengketa lahan.

Kendati berkontribusi terhadap penerimaan negara, tapi Lili menghitung tingkat kepatuhan wajib pajak di sektor sawit tergolong rendah hanya 46,3 persen untuk kategori wajib pajak badan, dan 6,3 persen untuk wajib pajak perorangan. Sektor sawit juga rawan korupsi karena lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian. “Banyak kasus korupsi terkait proses perizinan yang melibatkan kepala daerah,” ungkapnya.

Menurut Lili, sampai sekarang pemerintah belum membentuk tata kelola perkebunan sawit yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan. Kajian KPK setidaknya menyoroti beberapa hal terkait tata kelola sawit, antara lain sistem pengendalian dan pengawasan tidak akuntabel; pungutan ekspor dan pajak tidak efektif. “KPK telah merekomendasikan sejumlah hal untuk pemerintah, misalnya melakukan rekonsiliasi izin usaha perkebunan dan kebijakan satu peta.”

Tags:

Berita Terkait